Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mendorong RUU Ketahanan Siber

26 Januari 2018   17:10 Diperbarui: 26 Januari 2018   17:17 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Di Indonesia, 84,4% penduduknya memiliki telepon genggam pada tahun 2016 (Kominfo, 2016). Pada laporan lainnya, penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 51,8% (APJII, 2016). Bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia menurut Statista.com (2017).  Kita juga menduduki peringkat pertama pertumbuhan pengguna internet menurut laporan we are social&Hootsuit(2017). World Factbook CIA (2017) menempatkan Indonesia pada peringkat keempat dalam kepemilikan telepon genggam di dunia.       

Jika kita merunut kebelakang, Tahun 2008, peraturan pertama yang dilahirkan Indonesia menghadapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini adalah produk hukum tertinggi pertama yang lahir dalam era digital Indonesia. Kosongnya pengaturan pidana dunia digital yang tidak dapat dilingkupi oleh produk undang-undang yang telah ada menjadi latar dibentuknya UU ITE Nomor 11 Tahun 2008.

Apa yang dilakukan Indonesia paska memasuki era digital sedikit berbeda dengan Amerika era Bill Clinton yang pada tahun 1998 mengeluarkan Undang-Undang Digital Milenium Copyright Act (DMCA). Situasi persaingan usaha dalam era digital yang begitu berkembang sangat cepat membuat DMCAjauh lebih dibutuhkan Amerika ketimbang pemidanaan sebagai dampak prilaku masyarakat yang berubah di era digital. Di negara lain yang industri digitalnya berkembang pesat juga berlaku hampir serupa dengan Amerika.

China nampaknya yang cukup menarik jika menilik perkembangan pengaturan era digitalnya. Sebagai negara yang dijuluki totaliter, China pertama kali mengeluarkan kebijakan pelarangan google, lalu memproduksi sendiri baidoo, begitupula dengan penggunaan produk teknologi tertentu sebelum akhirnya memproduksinya sendiri dan mengkampanyekan penggunaanya kepada rakyatnya dan menjadi produk eksport ke berbagai negara.

Orientasi. Inilah yang membedakan antara negara-nagara produsen dan negara konsumen dalam membuat aturan dunia digitalnya. Negara dengan iklim inovasi dan industri yang cepat berkembang memulai produk peraturan era digitalnya dengan mengatur persaingan antar industri. Sedangkan di negara-negara konsumen memulainya dengan pengaturan pidana beriringan dengan pesatnya konsumsi produk digital.

Namun dari kesemuanya ada satu benang merah yang dapat ditarik. Hampir semua negara yang disebut diatas, tidak mendefinisikan kedaulatan dalam kategori pembatasan. Melainkan mendefinisikannya kedalam manfaat dunia digital yang dapat dipetik bagi bangsanya. Berbeda dengan definisi kedaulatan secara tradisional (fisik) yang dengan jelas dan tegas menetapkan batas-batas kewilayahannya.  

Satu kesamaan lainnya adalah berkenaan dengan perlindungan keamanan data dan informasi. Hampir kesemua negara diatas membangun pengaturan pengamanan data dan informasinya sambil menarik negara lain dikawasan dan negara dengan teknologi maju untuk ikut serta membangun kerjasama keamanan digital. Setidaknya itulah yang dilakukan negara-negara seperti Prancis, Jerman dengan Uni Eropa. Begitupula dengan Rusia, China, Amerika, Singapura dan lainnya. Di NATO, masing-masing negara anggota memiliki organisasi keamanan cyber dan membangun kerjasama antar negara dengan nama NATO Cooperative Cyber Defense Centre of Excellence (NATO CCD COE).

Pentingnya RUU Ketahanan Siber

Secara umum, kedaulatan digital dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menguasai secara penuh dan mengendalikan akses dan transaksi atas data digital (Reinhard Posch, 2017). Definisi yang demikian mengandung problematika tersendiri di negeri dengan sistem demokratis yang mensyaratkan perlindungan hak privasi penduduknya. Bukan hanya itu, problem juga muncul tatkala infrastruktur digital sebuah negara belum terbangun degan daya pengamanan yang memadai. Sementara untuk membangun infrastruktur digitalpun perlu investasi yang sangat besar. Walaupun menghadapi problem dilematis namun, Indonesia sudah sepatutnya memiliki payung hukum ketahanan digital.

Kasus E-KTP dimana disinyalir data digital penduduk Indonesia berada di luar negeri setidaknya harus membangun kesadaran baru pentingnya RUU Ketahanan Siber bagi Indonesia. Walaupun Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa data tersebut tersimpan aman, namun hal ini tidak menjadi jaminan. Karena Indonesia saat ini belum memiliki perangkat hukum keamanan data digital yang terintegrasi. Apalagi kerjasama internasional terkait keamanan data digital Indonesia yang di akses dan atau di transmisikan di luar yurisdiksi hukum Indonesia.

Junatho Herdiawan, Kepala Bank Indonesia menuliskan kekhawatiran terhadap peretasan data pribadi konsumen dalam penggunaan teknologi finansial. Di Kompas,dia mendasarkan kekhawatirannya berdasarkan pengalaman Equifax -- sebuah perusahaan tekfin - yang dilaporkan dalam forum negara anggota G-20. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun