Kamis, (1/9) Pemerintah DKI Jakarta kembali melakukan penggusuran rumah warga. Kali ini 55 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di RT 09 RW 04 di Jalan Rawajati Barat III, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, yang menjadi sasaran.
Pemandangan yang selalu ada di setiap penggusuran rumah penduduk adalah atap asbes yang dihancurkan. Padahal badan kesehatan dunia WHO telah jauh hari menyatakan bahwa debu asbes sangat berbahaya bagi kesehatan. Serat atau debu asbes bersifat karsinogen (pemicu penyakit kanker). Hal ini dipertegas juga dengan Resolusi WHO Nomor 58.22 tahun 2005 tentang Pencegahan Kanker (Cancer Prevention) dan lebih jauh didalam Resolusi WHO Nomor. 60.26 tahun 2013 tentang "Global Action Plan for the Prevention and Control of Non communicable Diseases."
Mesin-mesin berat menghancurkan atap asbes rumah penduduk tanpa prosedur yang aman. Padahal Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1985 sudah menggariskan keharusan prosedur kerja yang aman berkaitan dengan bahan asbes.
Sawung, Manajer kampanye urban dan energi Walhi Nasional, mengatakan praktek penggusuran yang demikian ini menghasilkan limbah beracun yang tersebar melalui udara. Hal ini menurutnya akan meningkatkan potensi resiko kanker paru-paru bukan hanya terhadap pekerja pembongkaran namun juga penduduk yang berada di radius 10 KM dari lokasi pembongkaran. Marginal Class Cleansing (penghapusan klas marjinal) seperti penggusuran di DKI dalam pandangan Walhi selalu tidak sesuai dengan cara-cara penanganan yang tepat untuk menghindarkan masyarakat dari masalah lingkungan dan kesehatan yang lebih jauh.
“Proses disposal bahan B3 (bahan berbahaya dan beracun) tersebut juga tidak sesuai dengan PP 101 tahun 2014 tentang pengolahan limbah B3,” jelasnya.
Hampir senada, Wiranta Ginting, Direktur lionindonesia, menuturkan dalam kasus-kasus penggusuran rumah beratap asbes, warga hampir selalu dipastikan menjadi korban dari kebijakan yang salah. Kebijakan pelarangan segala bentuk asbes yang tidak dikeluarkan pemerintah ditambah kebijakan penggusuran tanpa memperhatikan metode disposal yang tepat menambah resiko bahaya bagi masyarakat.
“Penggunaan asbes di Indonesia oleh masyarakat didorong oleh harga murah dan daya tahan bahan asbes, tanpa diberi tahu bahayanya. Pemerintah mendukung bisnis bahaya ini,” ujarnya.
Dia melanjutkan, masyarakat pengguna asbes sejak awal adalah korban industri asbes yang di legalisasi pemerintah dengan hanya melarang asbes biru (crocidolite). Padahal semua asbes dapat dipastikan berbahaya bagi kesehatan.
“Rakyat kecil selalu menjadi korban. Pertama mereka menjadi korban industri asbes. kedua mereka menjadi korban pembangunan yang tidak ramah terhadap rakyat. Karena mereka orang kecil, mereka dianggap bisa digusur seenaknya atas nama keindahan kota,” sesalnya.
Balifokus, lembaga pengadvokasi lingkungan bebas bahan beracun mengatakan, membiarkan masyarakat menggunakan bahan bangunan yang mengandung asbestos di permukiman kumuh dan fasilitas-fasilitas kesehatan serta pendidikan, meningkatkan bahaya kesehatan masyarakat terutama anak-anak.
"Penggunaan asbestos untuk atap rumah murah atau bangunan sederhana tanpa ada peringatan apa bahayanya melanggar hak warga untuk hidup sehat," kata Anita Arif, Toxics Program Associate dari BaliFokus. "Kami mendorong permukiman yang sehat dan bebas asbestos untuk mendukung pembangunan berkelanjutan," lanjutnya.
“Indonesia adalah negara kelima terbesar konsumen asbestos. Dengan survey kesehatan yang tepat, kemungkinan besar dalam 5 tahun ini, Indonesia bisa panen penyakit terkait asbestos," tambah Yuyun Ismawati penerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2009 yang juga menjabat Senior Advisor BaliFokus.
BaliFokus mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang kebijakan dan peraturan yang mengijinkan impor, perdagangan dan penggunaan asbestos untuk berbagai produk.
Sementara itu, koordinator Ina-BAN, lembaga kampanye pelarangan asbes, Darisman, menegaskan sangat minim perhatian pemerintah terhadap dampak lanjut yang mungkin diderita masyarakat yang rumahnya digusur.
“Penggusuran, tidak hanya melanggar HAM, tapi juga melahirkan bencana baru,” pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H