Mohon tunggu...
Hikmatullah
Hikmatullah Mohon Tunggu... Relawan - Pembelajar

Manusia Tanpa Bakat Istimewa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Baru, Narasi Otokritik Pemindahan Ibu Kota

28 Agustus 2019   05:52 Diperbarui: 28 Agustus 2019   06:08 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: Okezone.com

Wacana tentang pemindahan ibu kota mewarnai dinamika kehidupan nasional masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Ditengah konflik primordial di Papua, pemerintah kemudian fokus menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Indonesia.

Menurut penulis, keputusan pemerintah memindahkan Ibu kota terlalu terburu-buru. Sebab dalam pemindahan pusat negara perlu pertimbangan yang matang yang didalamnya ada wacana dan harapan masa depan untuk kehidupan bersama antar warga negara.

Secara historis, pemindahan Ibu kota Indonesia sudah empat kali dilakukan. Pada tanggal 4 Januari 1946, Ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal itu dilakukan akibat Jakarta diduduki oleh tentara sekutu dan Belanda atas nama NICA. 

Kemudian pada akhir tahun 1948 Ibu kota kembali dipindahkan dari Yogyakarta ke Sumatera Barat. Pemindahan tersebut dikarenakan agresi militer Belanda, Soekarno-Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka. Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi.

Kemudian pada Juli 1949, Ibu kota dipindahkan kembali dari Bukit Tinggi ke Yogyakarta. Alasannya karena pada saat itu Soekarno-Hatta sudah dibebaskan, Sjafruddin Prawiranegara membubarkan PDRI, dan secara resmi Yogyakarta kembali menjadi Ibokota Republik Indonesia Serikat (RIS).

Selanjutnya pada tanggal 17 Agustus 1949, secara de facto Jakarta menjadi Ibu kota Indonesia karena pada saat itu pula Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Dan pada 28 Agustus 1961, Jakarta menjadi Ibu kota Republik Indonesia secara de jure menurut PP No. 2 Tahun 1961 dan UU No. 10 Tahun 1964.

Jika dilihat secara historisnya, pemindahan ibu kota yang terjadi sebanyak empat kali tersebut disebabkan karena adanya situasi genting yang terjadi pada negara.

Sementara itu, pada tanggal 26 Agustus 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan Ibu kota ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Wacana ini sudah dibahas secara intensif sejak 2017 lalu, pembangunannya akan diadakan mulai tahun 2020, dan pemindahannya akan dilaksanakan pada 2024 mendatang.

Salah satu alasan pemerintah memindahkan Ibu kota adalah untuk mengurangi beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis. Menurut penulis alasan tersebut kurang tepat, karena status Jakarta sebagai pusat bisnis dan peningkatan urbanisasi bisa diselesaikan dengan membangun pusat-pusat perekonomian baru di daerah-daerah.

Selain itu, penyebaran pusat pemerintahan dalam hal ini masing-masing kementerian harusnya berada di masing-masing wilayah atau kota-kota besar lainnya disetiap pulau. Misalnya ada beberapa kementerian di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Upaya lain yang bisa dilakukan seperti membentuk pusat bisnis baru di Kabupaten atau Kota besar lainnya. Cara ini lebih masuk akal, karena daerah dapat meredam sendiri keinginan masyarakatnya untuk pindah ke Ibu kota (Jakarta).

Selain itu, kita juga perlu melihat keuangan negara, hutang, pengangguran, kemiskinan, beban ekonomi rakyat dan masalah-masalah lainnya. Pemindahan Ibu kota di kabupaten/Kota saja butuh dana banyak, apalagi pemindahan Ibu kota negara.

Sudah pasti proses pemindahan ini membutuhkan biaya yang banyak, dan kalau ini sampai membebani APBN atau APBD maka dikhawatirkan utang akan semakin banyak dan itu akan menjadi pemborosan dan kurang produktif.

Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah masalah sosial budaya, antropologis, geopolitik, pertahanan, keamanan, juga masalah lingkungan hidup. Kita tidak ingin masalah-masalah primordial terjadi di Ibu kota yang baru. Kita juga jelas tidak ingin pertahanan dan keamanan Ibu kota terancam baik dari dalam maupun dari luar. Untuk itu, pemerintah harus serius mengkaji ide dan gagasan pemindahan ibu kota ini dengan sangat cermat.

Wacana pemindahan ibu kota ini bukanlah ide yang buruk, tapi memerlukan kajian yang matang, cermat dan holistik. Para pakar dan masyarakat masih belum melihat urgensi pemindahan ibu kota ini, dan pemerintah pun belum menunjukan secara transparansi dan akuntabilitas ke publik terkait isu yang besar seperti ini.

Sebagai kepala negara tentu kita menyadari presiden mempunyai kekuasaan untuk menerapkan berbagai kebijakan termasuk menetapkan ibu kota yang baru. Tetapi presiden tidak serta merta dapat memutuskan begitu saja kebijakannya. Terlebih memindahkan ibu kota mempunyai implikasi hukum, regulasi, ekonomi, politik, dll, yang secara luas melibatkan kewenangan berbagai macam lembaga negara.

Untuk itu perlu koordinasi yang intens antara presdien dan masing-masing lembaga negara agar pengkajian pemindahan ibu kota ini berjalan secara cermat dan terpadu serta menjadi landasan kebijakan yang bersifat regulasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun