Ngobrol dengan Mbah Katijan sangat asyik. Ia juga tidak sungkan menceritakan kehidupannya jika ditanya.
Sejak pertama kenal dua tahun lalu di Masjid Al Munawaroh, Srikaton, saya sering mencari kesempatan ngobrol dengannya.Â
Mbah Katijan selalu datang ke masjid satu jam sebelum waktu sholat sehingga masih luang waktu untuk ngobrol setelah beliau menyelesaikan tugasnya dan sholat tahiyatul masjid.
Sering pula saya berkunjung ke rumahnya. Istri saya selalu menitip oleh-oleh jika tahu saya akan mengunjungi Mbah Katijan.
Ketika ngobrol dengan Mbah Katijan saya merasakan suasana berbeda. Yang dibicarakan seputar kehidupan sehari-hari di desa. Cerita kambing yang sakit, ayam bertelur atau pengalamannya mencari rumput pakan kambing saat kemarau.
Obrolan kami jauh dari hiruk-pikuk politik, demo-demo di Jakarta, atau keluh-kesah. Mbah Katijan tidak pernah susah. Senyum selalu menghias wajah tuanya.
Secara ekonomi kehidupannya tergolong rendah. Rasa syukurnya yang tak terukur membuat Mbah Katijan tak merasakan kekurangannya dibanding tetangganya. Syukur kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang membuat dirinya merasa selalu cukup.Â
Dari Mbah Katijan saya belajar arti bersyukur dan berdamai dengan takdir.
Terima kasih Mbah Katijan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H