[caption id="attachment_164570" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi Beras (KOMPAS/RIZA FATHONI)"][/caption] Masih orang-orang brisik ini, kemarin-kemarin beras impor dicaci, mereka ini, sekarang ini, cari-cari itu beras impor. Mereka pada sumpek dengan beras lokal yang terus naik, terlalu naik. Untuk beras medium saja harganya waduh. Di sini saja, di kota kecil ini antara 7.000- hampir 8000 per kilogram. Kalau di Jakarta situ tempat kantor kompasiana ini kata teman saya yang saya telepon kemarin, harganya itu sudah lebih 8000/kg. Andai beras impor itu manusia sudah ngomel-ngomel dia, bingung mau dengar yang mana, jadinya dia itu pada bolak-balik mau ke-indonesia atau tidak, kalau ke indonesia dicaci-maki. Kalau tidak ke Indonesia itu di cari-cari, jadi dia itu pada bingung meratapi nasibnya, persis seperti seorang wanita yang di rinduin kekasihnya tapi di benci sama orang tuanya. Jadi nangis-nangis saja tidak seperti seorang kompasianer yang jingkrak-jingkrak ketika highlight. hahaha, saya tertawa dulu. Boleh? Ya aneh juga, bingung juga dengan beras impor itu, kalau beras impor tinggi baru pada musim panen petani jelas pada ngomel-ngomel, tapi kalau kurang beras begini pada musim paceklik ini pedagang pada ngomel-ngomel. harga hari ini naik besoknya lagi naik lusanya naik terus kapan turunnya? mereka itu cari-cari beras impor. Tapi ngomeng-ngomeng beras impor, Hatta Rajassa yang menteri koordinator perekonomian itu pernah sesumbar bahwa kita akan berswasembada dan menjadi lumbung pangan lima tahun ke depan. Waktunya ngomeng itu satu tahun yang lalu. Tinggal 4 tahun lagi, mungkin terwujud gak ini? Mungkin karena SBY cepat-cepat menarik Dahlan Iskan menjadi menteri BUMN, Dahlan Iskan memerintahkan untuk pencetakan sawah baru. Ah menteri pertanian pada kemana sih? Menteri keuangan gimana uangnya nih. Tapi itu saran Dahlan Iskan itu, Sawah-sawah jadi milik BUMN gak? Kalau milik BUMN bisa gawat ini, tapi saya yakin Dahlan Iskan itu cerdas, seperti memajukan Jawa Pos Group, atau mengomandoi PLN. Asa-asa kami ini ada padamu Dahlan Iskan, tetapi ku tak mau jadi pemujamu. Inilah bedanya Pak SBY itu dengan Pak Harto, Pak Harto itu sangat mengerti dengan beras, mungkin waktu kecilnya sering kelaparan, kalau Pak SBY mungkin terlalu kekenyangan jadinya? ah sudahlah kita buktikan saja omongan saya betul atau tidak? Kita ini jadi pengimpor pangan, segala-galanya impor, Waktu Soharto dulu, ingat pencetakan sawah-sawah baru. Sampai-sampai mobil sikapator itu ditanam di lahan gambut Kalimantan sana, di mana-mana di cetak lahan sawah baru. Memang negara rugi triliunan waktu di Kalimantan itu tapi itu menunjukkan keseriusan pak Harto sangat memperhatikan pangan? Dampak politiknya, nanti lain kali saja... Kembali ke harga beras ini yang sudah di puncak ini, sudah tidak naik. tapi harganya waduh, untung ada operasi pasar tapi berasnya itu rasanya kata pembeli ini keras-keras, bau lagi, hitam. Mungkin berasnya itu beras 1 abad lalu yang di simpan di gudang-gudang bulog. Kalau sudah begini mendingan saya makan jagung, ubikaya, atau ubi-hutan. Ah, saya sudahi saja, ngomel-ngemol soal beras, nanti sebentar atau besok atau kapan-kapan saya ngomel-ngemol tentang minyak goreng. Sudah tersenyum gak pembaca, kalau belum silahkan buat saya tersenyum di kolom komentar. hahaha Salam Kompasiana. Tulisan lain
Suharto dicaci, Suharto dirindu
[humor] Jingkrak-Jingkrak tulisan highlight
Andai admin itu teman-teman saya
kemarin petani, hari ini buruh tani, besok pengemis tani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H