Sesederhana itu kebaikan berdagang yang mereka pertontonkan. Tidak ada selipan propaganda politik atau tindak pidana kriminal apapun. Hanya ajaran untuk menjadi anak yang Amanah, Jujur, dan Terpercaya berdasarkan pesan Nabi yang bernama Muhammad.
Tontonan sederhana berdurasi 6 menit 29 detik itu memiliki  jumlah penonton hingga mencapai 11juta lebih. Pesan moralnya sangat tinggi dan bermutu dibandingkan mode pakaian yang digunakan Nussa dan Rara.
Kalau kata Ustadz Adi Hidayat, benda yang dipakai seseorang tidak memiliki nilai hukum. Hukum hanya berlaku atas tindakan pemiliknya. Lalu apakah Nussa dan Rara yang menjalani hidup penuh nilai-nilai moral bersalah karena pakaian tertutup dan sopan yang dikenakannya?
Dahulu, ketika zaman Orde Baru, pakaian semacam jilbab dan kerudung dilarang oleh pemerintah. Zaman berganti dengan diperbolehkannya wanita Indonesia secara khusus dan warga pada umumnya mengekspresikan ke-pancasilaan-nya dengan mode pakaian apapun.
Isu terkait mode pakaian ini pun kembali terangkat ke permukaan dalam beberapa dekade terakhir. Hanya karena klaim lebih Pancasilais sekelompok seleb medsos partisan menghakimi anak-anak kecil baik hati itu dengan tudingan memiliki keterkaitan dengan kelompok ormas tertentu, hanya dari pakaiannya.
Tuduhan sebagai mode pakaian gurun pun menyambar bagaikan petir di siang bolong. Padahal, kaum yang tinggal di gurun pasir memiliki mode pakaian yang tidak sama persis dengan yang dikenakan Nussa dan Rara.
Ketika penanggung jawab produksi Nussa dan Rara muncul menjelaskan, isu negatif itu melebar kemana-mana. Mulai dari tidak mengusung keberagaman, tidak sesuai budaya Indonesia, overproud, dan lain sebagainya. Politis sekali.
Indonesia memiliki ratusan budaya, penganut agama yang beragam, dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Nussa dan Rara yang akan hadir di layar lebar memiliki segmentasi penontonnya sendiri. Tidak sesuai dengan selera segmen kelompok tertentu tidak otomatis menjadikan film ini berseberangan dengan budaya Indonesia. Karena isi cerita mereka berbasis kepada nilai-nilai kebaikan universal, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya.
Nilai moral Pancasila bukan lagi monopoli kelompok tertentu. Dulu, bangsa ini belajar bagaimana berbahayanya ide yang sudah usang itu: mengklaim lebih pancasila dari orang lain. Padahal, pemerintah telah memberikan jaminan dan kebebasan warganya untuk mengekspresikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kata-kata negatif memang memiliki kemampuan layaknya angin puting beliung. Jika dibiarkan membesar akan menghancurkan banyak kebaikan, termasuk karya anak bangsa sendiri. Maka sudahi polemik ini dengan membuka ruang-ruang dialog yang lebih santun dan mengangkat karya kreatif anak bangsa agar dikenal oleh dunia. Agar bangsa ini dapat berkembang pesat sebagai bangsa yang besar secara harfiah.