"Tinggal dimana?"
"Di Priok (Tanjung Priok -red)."
"Whoah.." Mukanya pun berubah kaget, "jauh banget?"
Emang iya, ya? Dalam hati bergumam.
Itulah sepenggal dialog yang saya alami saat memperkenalkan diri. Mayoritas mereka akan kaget jika kata kunci "Priok" sampai di telinga mereka. Seakan-akan Tanjung Priok itu ada di ujung belahan dunia lain; tak tergapai. Padahal, mereka yang terkejut itu berkantor di Jakarta juga, beberapa tinggal di Jakarta pun. Tapi setidaknya, persepsi warga Indonesia kepada salah satu wilayah kecamatan di Jakarta Utara ini telah bergeser. Tanjung Priok dahulu dikenal sebagai sarangnya preman, pemadat, perampok, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kriminal. Kalau sekarang, bagaikan jauh di mata dekat di hati.Â
Percaya tidak jika saya mengutip perkataan salah satu politisi Jakarta saat kampanye yang menyebutkan, "kalau mau kuasai Jakarta, kuasai dulu Jakarta Utara. Kalau mau kuasai Jakarta Utara, kuasai dulu Tanjung Priok."?
Kedengarannya memang sesumbar, tapi izinkan saya menjabarkan secara singkat perihal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini.
Secara posisi wilayah Tanjung Priok berada di daratan utara Jakarta yang menjorok ke laut. Di dalamnya terdapat akses transportasi darat dan laut yang menghubungkannya ke kota-kota atau negara lain. Peran Tanjung Priok ini, sangatlah penting, karena jika tidak ada pelabuhannya, maka tidak akan ada barang-barang kebutuhan atau barang luxury yang terdistribusi ke wilayah-wilayah Jawa Barat, Jabodetabek, Banten, dan sekitarnya.
Semenjak zaman Hindia-Belanda, Tanjung Priok memang dijadikan kawasan strategis. Saat dibukanya Terusan Suez di tahun 1869, para pedagang dari Eropa dapat langsung menembus ke wilayah Asia tanpa perlu memutar kapal dari Afrika. Akibatnya, lalu lintas perdagangan dunia meningkat drastis, termasuk di Batavia.
Untuk menampung muatan barang-barang dari seluruh dunia tersebut, Gubernur Jendaral Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881) membangun pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1877 untuk menggantikan peran Pelabuhan Sunda Kelapa di sebelah baratnya, karena dinilainya terlalu kecil.
Waktu itu, kawasan Tanjung Priok merupakan tanah partikelir (bukan milik umum; bukan milik pemerintah, dinas, atau swasta) yang dikuasai oleh beberapa tuan tanah. Diantara mereka terdapat nama-nama seperti Hana birtti Sech Sleman Daud; Oeij Tek Tjiang; Said Alowie bin Abdulah Atas; Ko Siong Thaij; Gouw Kimmirt; dan Pattan.Â