"Cita-citamu harus lebih besar daripada dirimu sendiri."Â
"Wage" menjadi salah satu film lokal yang seminggu ini ikut tayang di layar lebar Indonesia. Pihak promotor  kembali mengundang publik nonton bareng (nobar) sebagai bagian ajakan kepada penonton lokal kembali menonton film buatan anak negeri.Â
Kehadirannya di Cinema XXI Plaza Senayan pada Kamis itu (16/11), tampak ditelan massa yang justru antusias menyaksikan gala-premiere film-film produksi atau didukung oleh organisasi luar negeri.Â
Begitu layar terkembang, suasana haru pun langsung terasa. Layar "Wage" diawali dengan atmosfir cerah dan berangin menjelang matahari terbenam. Diiringi sayatan nada biola sembilu, siluet Rudolph Wage Supratman berdiri gagah mengangkangi puncak bukit bersama biola tercinta.
Secara keseluruhan, film biografi komposer lagu "Indonesia Raya" tiga stanza memiliki kekuatannya pada reka dialog dan suasana melankolis sinematografi. Permainan sudut kamera mengikuti alur dialog yang terjadi. Saya akui, racikan tiap kata-kata yang disusun oleh film ini mengingatkan saya pada live action "Death Note" keluaran Jepang.
Film ini disutradari oleh John de Rantau, seorang sineas muda idealis. Ia tak ragu menarasikan kisah Rudolph Wage Supratman meski kisahnya penuh dengan teka-teki. Hal ini dikarenakan belum banyaknya riset sejarah tentang sang tokoh utama yang dilakukan secara mendalam.Â
John de Rantau justru mengaku bahwa ia telah melakukan pendalaman riset melalui berbagai literatur yang ada (Poskotanews; 2017). Sebagai seorang sineas yang idealis, produser pun memberikan keleluasaan penuh untuknya berkreasi. Penggarap film Obama Anak Menteng (2010) itu hendak menggugat kontroversi seputar kehidupan Wage Supratman melalui karyanya; dengan konsepnya sendiri. Dalam wawancaranya dengan Poskotanews.com, ia memberikan rincian, "Semua karakter dalam film ini berdasar kejujuran, bagi saya di sini tidak ada antagonis, protogonis. Itu semua penilaiain penonton. Sisi baik dan buruk saya tampilkan semua."Â
Sinopsis
Rendra Bagus Pamungkas didaulat menjadi pemeran utama. Ia memerankan Wage Supratman, seorang komposer musik yang sepertinya belajar bermusik dari iparnya yang berkebangsaan Belanda pada film tersebut. Ia mulai mencintai dunia musik saat ikut menikmati dendang pesta petinggi VOC hingga larut malam. Namun sepulang dari acara pesta tersebut, Wage harus menerima takdir bahwa ibunya telah wafat.Â
Ikut hijrah ke tanah Makassar bersama sang ipar, Wage Supratman bergelimang ketenaran dan harta. Melalui potongan cerita di kota itulah, Wage mengalami pergolakan batin berkali-kali. Hingga pada satu titik tertentu ia berada di persimpangan : ikut berjuang mengangkat senjata, atau melakukan kegiatan moderat melawan penjajah?Â
Meski ia memilih jalur moderat sebagai jurnalis dan komponis, Wage ikut menyumbang dana bagi pergerakan senjata melawan kompeni. Jiwanya tetap patriot meski jalur yang dipilihnya berlaga dalam karya musik dan tulisan demi mengangkat moral perjuangan.
Tak kalah penjiwaannya melakoni karakter Fritz, akting Teuku Rifnu Wakana adalah yang paling banyak membetot mata saya. Setiap inchi gerak tubuh beserta mimiknya memberikan kekuataan pada tiap kata-kata yang terlontar.
Fritz merupakan komandan pasukan keamanan pemerintah Hindia-Belanda yang terobsesi meringkus W.R Supratman ke dalam penjara. Justru, pertemuannya dengan Wage berkontribusi pada pergolakan dalam batinnya. Ia yang sejatinya rival terberat Wage justru bagaikan berkaca kepada diri sendiri. Melalui nasihat-nasihat yang dilontarkan rivalnya itu, Fritz belajar memahami jati dirinya sebagai keturunan pribumi-belanda. Sosok karakter ini mengingatkan saya dengan istilah dalam novel Harry Potter, "the half-blood prince".Â
Harus diakui kalau sosok perempuan di dalam film Wage tidak se-intens kehadiran para lelakinya. Kisah romansa sempat hadir di tengah-tengah gejolak terciptanya lagu kebangsaan Indonesia.Â
Lagu Indonesia Raya versi tiga stanza diciptakan W.R Supratman saat kepercayaan dirinya turun karena tekanan peserta kongres Sumpah Pemuda di tahun 1928. Namun kehadiran Salama (diperankan Prisia Nasution) mengangkat moralnya kembali. Mereka menyatakan rasa cintanya kepada masing-masing, dan saling menguatkan semangat perjuangan sesama mereka berdua.
Penutup
Pengambilan gambar film ini dilakukan di 4 kota (Semarang, Yogyakarta, Magelang, dan Solo). Nuansa kearifan lokal dan atribut-atribut zaman penjajahan dipadu dengan teknik modern pengambilan sudut gambar. Hal ini menjadikan film mampu mengekspos begitu banyak sisi melankolis tiap karakter beserta momen mereka. Tampaknya, John de Rantau memang fokus memperkuat tema melankolis pada film biografi ini.
Pada kegiatan nonton bareng di Plaza Senayan kemarin, dihadiri pula oleh mantan ketua DPR RI, Anis Matta. Politikus Indonesia itu memberikan sedikit sambutan sesuai permintaan promotor. Ia menjelaskan bahwa kehadiran film biografi mengenai tokoh kebangsaan diperlukan saat ini di tengah-tengah gersangnya rasa nasionalisme anak-anak muda Indonesia untuk membangun kesadaran mereka akan sejarah negerinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H