Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menakar Rasa Kebangsaan Saat Nonton Bareng Film "Wage"

18 November 2017   09:05 Diperbarui: 20 November 2017   09:01 1749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski ia memilih jalur moderat sebagai jurnalis dan komponis, Wage ikut menyumbang dana bagi pergerakan senjata melawan kompeni. Jiwanya tetap patriot meski jalur yang dipilihnya berlaga dalam karya musik dan tulisan demi mengangkat moral perjuangan.

Tak kalah penjiwaannya melakoni karakter Fritz, akting Teuku Rifnu Wakana adalah yang paling banyak membetot mata saya. Setiap inchi gerak tubuh beserta mimiknya memberikan kekuataan pada tiap kata-kata yang terlontar.

Fritz merupakan komandan pasukan keamanan pemerintah Hindia-Belanda yang terobsesi meringkus W.R Supratman ke dalam penjara. Justru, pertemuannya dengan Wage berkontribusi pada pergolakan dalam batinnya. Ia yang sejatinya rival terberat Wage justru bagaikan berkaca kepada diri sendiri. Melalui nasihat-nasihat yang dilontarkan rivalnya itu, Fritz belajar memahami jati dirinya sebagai keturunan pribumi-belanda. Sosok karakter ini mengingatkan saya dengan istilah dalam novel Harry Potter, "the half-blood prince". 

Harus diakui kalau sosok perempuan di dalam film Wage tidak se-intens kehadiran para lelakinya. Kisah romansa sempat hadir di tengah-tengah gejolak terciptanya lagu kebangsaan Indonesia. 

Lagu Indonesia Raya versi tiga stanza diciptakan W.R Supratman saat kepercayaan dirinya turun karena tekanan peserta kongres Sumpah Pemuda di tahun 1928. Namun kehadiran Salama (diperankan Prisia Nasution) mengangkat moralnya kembali. Mereka menyatakan rasa cintanya kepada masing-masing, dan saling menguatkan semangat perjuangan sesama mereka berdua.

via.News.bbm.com
via.News.bbm.com
Penutup

Pengambilan gambar film ini dilakukan di 4 kota (Semarang, Yogyakarta, Magelang, dan Solo). Nuansa kearifan lokal dan atribut-atribut zaman penjajahan dipadu dengan teknik modern pengambilan sudut gambar. Hal ini menjadikan film mampu mengekspos begitu banyak sisi melankolis tiap karakter beserta momen mereka. Tampaknya, John de Rantau memang fokus memperkuat tema melankolis pada film biografi ini.

Pada kegiatan nonton bareng di Plaza Senayan kemarin, dihadiri pula oleh mantan ketua DPR RI, Anis Matta. Politikus Indonesia itu memberikan sedikit sambutan sesuai permintaan promotor. Ia menjelaskan bahwa kehadiran film biografi mengenai tokoh kebangsaan diperlukan saat ini di tengah-tengah gersangnya rasa nasionalisme anak-anak muda Indonesia untuk membangun kesadaran mereka akan sejarah negerinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun