Mohon tunggu...
Sandy Novryanto Sakati
Sandy Novryanto Sakati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tompotika Luwuk Banggai

Akademisi Kesehatan Masyarakat bidang Peminatan Kesehatan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kebijakan Pemenuhan Air Minum Layak Konsumsi

17 Mei 2022   01:25 Diperbarui: 19 Mei 2022   02:30 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air minum yang layak merupakan hak azasi manusia untuk mempertahankan hidup dan menjaga kesehatannya. Investasi di bidang air minum dan sanitasi mempunyai dampak positif yang nyata terhadap penurunan penyakit, pencegahan kematian yang prematur, penghematan biaya kesehatan dan peningkatan produktivitas. 

Namun perhatian dan alokasi dana belum sepenuhnya direalisasikan secara penuh untuk meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas air minum. Sampai dengan tahun 2013 akses air minum (improved) di Indonesia masih 57,2 persen. 

Walaupun akses tersebut sudah meningkat, tetapi masih terdapat kesenjangan dan ketidakadilan baik antar provinsi, antar wilayah perkotaan dan perdesaan dan antar kuintil status sosial ekonomi. 

Penggunaan air minum kemasan dan isi ulang juga cenderung meningkat dan merupakan masalah dalam peningkatan akses air minum dari sumber yang improved. 

Dari segi kuantitas, Pemerintah telah menetapkan standar pelayanan minimal (SPM) untuk air minum rumah tangga sebesar 60 liter/orang/hari), tetapi masih banyak rumah tangga yang belum memenuhinya. 

Sebaliknya cukup banyak pula rumah tangga yang menggunakan air lebih dari SPM dan bahkan lebih dari 300 liter/orang/hari. Selain kuantitas, kualitas air juga masih kurang baik sehingga menyebabkan masih tingginya kejadian penyakit tular air. 

Bahkan diare menjadi penyebab nomor satu kematian di Indonesia pada tahun 2010, padahal 20 tahun sebelumnya diare menduduki urutan ke dua. 

Kondisi ini sejalan dengan data dunia bahwa air minum dan sanitasi menyebabkan proporsi yang signifikan dari beban penyakit global, termasuk 88 persen dari diare satu di antara dua penyebab kesakitan karena infeksi dan kematian anak-anak. Kualitas air yang buruk juga berdampak langsung pada ketersediaan air secara kuantitas. 

Air yang tercemar tidak bisa lagi digunakan untuk kebutuhan air minum dan higiene-sanitasi maupun untuk kebutuhan industri tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. 

Peningkatan kebutuhan air baku sebagai akibat pesatnya pembangunan dan pertambahan penduduk merupakan salah satu ancaman. 

Di sisi lain, tatanan normal baru juga menuntut agar sumber air baku khususnya mata air, memiliki kualitas lebih baik serta kuantitasnya cukup dan tersedia sepanjang waktu.

Sehingga, tujuan SDGs dapat tercapai sesuai tanrget sampai Tahun 2030 yaitu mencapai akses universal dan adil terhadap air minum yang aman dan terjangkau untuk semua, memperbaiki kualitas air dengan mengurangi polusi, serta melindungi dan memperbaiki ekosistem terkait air, termasuk pegunungan, hutan, rawa, sungai, resapan air dan danau.

ISU STRATEGIS

Belum terpenuhinya akses air minum dari sumber air yang improved

Persentase akses air minum yang ditetapkan dalam target 7c Millennium Development Goals pada tahun 2015 yaitu sebesar 68,8 persen belum tercapai karena pada tahun 2013 baru mencapai 57,8 persen. 

Hal ini disebabkan antara lain kecenderungan penggunaan sumber air unimproved yang semakin meningkat.

Masih terjadi kesenjangan akses air minum antar wilayah, antar provinsi dan antar kuintil status sosial ekonomi rumah tangga.

Rumah tangga di perdesaan cenderung mendapatkan akses ke sumber air minum unimproved.

Apabila kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih tinggi, anggota keluarganya cenderung memperoleh akses air minum dari perpipaan dan sarana lain yang improved. 

Demikian pula semakin tinggi status sosial ekonomi rumah tangga semakin tinggi pula kecenderungan mendapatkan akses air minum improved.

Rumah tangga di perdesaan juga memakai air 4,2 persen lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga di perkotaan. 

Sementara rumah tangga yang memakai air dari sumber improved dan kepalanya berpendidikan tinggi cenderung memakai air lebih dan hal ini mengindikasikan ketidakadilan secara sosial ekonomi (socio-economic inequality).

Masih banyak rumah tangga belum bisa mencapai SPM  pemakaian air untuk seluruh keperluannya

Sekitar 30 persen rumahtangga memakai air untuk seluruh keperluannya dengan kuantitas di bawah SPM, namun cukup banyak rumahtangga yang menggunakan air berlebihan. 

Hasil kajian membuktikan bahwa pemakaian air di atas 300 liter/orang/hari tidak berhubungan dengan kesehatan. Dengan demikian telah terjadi pemborosan pemakaian terutama pada kuintil sosial ekonomi tinggi.

Terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi air minum terutama dari air kemasan dan air isi ulang.

Ada alasan rumah tangga memilih untuk tidak mengolah air minum dengan memilih sumber air yang dianggap aman seperti air minum kemasan dan isi ulang. 

Kecenderungan ini meningkat sejalan dengan tingginya status sosial ekonomi. Hal ini mengindikasikan adanya kendala dalam peningkatan cakupan sumber air minum yang improved terutama air PDAM. 

Ini bisa berdampak negatif terhadap upaya peningkatan air minum perpipaan (PDAM). Padahal kualitas air minum kemasan dan isi ulang juga masih banyak yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Kualitas air minum masih belum memadai dan diperberat oleh tingginya sanitasi unimproved termasuk open defecation sebagai sumber pencemaran

Masih tingginya proporsi sanitasi yang buruk menghambat peningkatan kual-itas air minum sehingga penularan penyakit melalui air (diare) masih cukup tinggi. Rumahtangga yang menggunakan air minum unimproved cenderung menggunakan sarana sanitasi yang unimproved.

Pengawasan kualitas air minum yang telah berjalan belum sepenuhnya sesuai dengan Permenkes No, 736/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan Kualitas air Minum. 

Data nasional tentang kualitas air minum yang tersedia hanya kualitas fisik menurut persepsi rumahtangga sedangkan kualitas mikrobiologi dan kimia hanya berasal dari uji petik yang dilakukan puskesmas dan banyak yang belum memenuhi syarat Permenkes No. 492/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum

Masih tingginya penyakit melalui air terutama pada balita

Penyakit yang paling berhubungan dengan air minum adalah diare terutama pada balita. Balita dari rumah tangga yang air minumnya dari sumber yang im-proved dan diolah, menggunakan air untuk keperluan rumah tangga sebanyak 20-299 liter/orang/hari.

Kemudian, buang air besar di sarana sanitasi yang improved dan mempunyai sarana pembuangan air limbah yang layak dan dari sosial ekonomi tinggi berpeluang lebih kecil terkena diare dibandingkan dengan kondisi yang sebaliknya. 

Namun rumah tangga yang menggunakan air lebih dari 299 liter/orang/hari tidak berhubungan dengan peluang penurunan  insidensi diare. 

Sebaliknya, balita yang kepala rumahtangganya buang air besar di sembarang tempat, tinggal di daerah kumuh, minum air yang keruh dan sebagai rumah tangga sasaran program perlindungan sosial mempunyai peluang untuk terserang diare lebih besar dibandingkan dengan balita yang mempunyai kondisi sebaliknya.

Kebijakan peningkatan akses air minum diarahkan pada pengurangan tingkat kesenjangan akses air minum antar wilayah dan antar tingkat status ekonomi.

1. Peningkatan layanan air minum untuk penduduk perdesaan melalui PDAM dan layanan air minum yang dikelola kelompok masyarakat bergantung pada ketersediaan air baku dengan memperhatikan azas keadilan dan daya beli.

2. Pemberdayaan kelompok pemakai air minum perlu ditingkatkan dalam rangka penggunaan air secara hemat.

3. Peningkatan alokasi dana untuk penyediaan air minum setara dengan jumlah dan pertambahan penduduk yang belum terlayani sampai tahun 2019.

4. Perlu penghematan pemakaian air minum berdasarkan SPM melalui instrumen ekonomi dan kemitraan dengan masyarakat.

5. Perlu pengembangan sumber-sumber air terlindung yang dikelola masyarakat seperti sumur gali dan penampungan air hujan terutama di perdesaan agar mempercepat peningkatan sumber air improved.

6. Peningkatan sanitasi yang layak dapat menurunkan sumber pencemaran air dan memutuskan mata rantai penularan penyakit melalui air.

7. Upaya peningkatan sanitasi melalui Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) terus dilakukan karena dapat mengurangi pencemaran mikrobiologi air.

8. Penurunan sumber pencemaran melalui peningkatan cakupan sanitasi dapat menurunkan kejadian penyakit tular air.

9. Kebijakan pengurangan pemakaian air kemasan dan isi ulang di perkotaan dan perdesaan terutama pada tingkat ekonomi rendah.

10. Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Sumber Daya Air yang baru yang membatasi hak swasta terhadap air baku untuk air minum kemasan dan air minum isi ulang perlu segera dilakukan agar ada kejelasan hukum dalam pen-gaturan pemakaian air baku untuk swasta dan masyarakat.

11. Peningkatan kerjasama dan kemitraan antar pemangku kepentingan dalam bidang air minum dan sanitasi yang dimotori oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL).

12. Sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai media bahwa air minum ke-masan dan isi ulang adalah sumber air yang tidak improved karena harganya relatif mahal tetapi kualitasnya belum tentu lebih baik.

13. Dampak kesehatan dari kemasan plastik untuk air minum perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat dapat menentukan pilihan akses ke sum-ber air minum yang improved.

14. Pemerintah bekerjasama dengan mitra swasta dan masyarakat untuk memudahkan akses teknologi tepat guna pengolahan air minum sederhana.

15. Teknologi pengolahan air minum rumahtangga selain perebusan termasuk klorinasi dan filtrasi maupun sinar matahari perlu dikembangkan karena merupakan teknologi yang efektif dan relatif murah dibandingkan dengan praktik merebus air.

Klorinasi dapat menghasilkan air yang siap minum dengan daya proteksi selama penyimpanan dan sekaligus mengurangi penggunaan bahan bakar tidak aman untuk merebus air.

16. Lembaga penelitian dan pengembangan serta politeknik kesehatan diarahkan untuk menghasilkan produk teknologi pengolahan air minum tingkat rumah tangga dengan sistem pemasarannya secara efektif

17. Peningkatan kualitas air minum melalui rencana pengamanan air (Water safety Plan) perlu diterapkan secara nasional.

18. Peraturan perundang-undangan di bidang pengamanan kualitas air minum perlu segera disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, variasi kondisi geohidrologi dan adanya dampak perubahan iklim yang cenderung meningkatkan wilayah rawan air.

19. Perlu penyediaan sumberdaya yang memadai dalam penerapan rencana pengamanan air meliputi tenaga terlatih, peralatan, pedoman teknis, dan biaya operasional di tingkat Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun