Perempuan itu lantas menyeka air matanya dengan segera saat aku datang. Mungkin dipikirnya aku tidak melihat gumpalan tisu-tisu yang terselip asal di dalam tasnya. Aku mencoba mengabaikan karena ini bukan urusanku. Bukan lagi.
"Mas," panggil perempuan itu usai kuletakkan pesanannya di atas meja, "Duduk sebentar temenin aku, boleh?" tanyanya kemudian. Aku tidak punya alasan untuk menolak karena kedai sedang sepi. Jadi, aku duduk saja menuruti.
"Aku putus sama tunanganku, Mas," perempuan itu tiba-tiba memberitahu, padahal aku tidak bertanya. Kini aku tahu kenapa ia datang kemari sendiri, tidak seperti biasanya.
"Aku diselingkuhin, Mas. Mereka ketangkep basah waktu lagi jalan berdua. Mesra-mesraan! Coba bayangin, Mas, gimana perasaanku?!"
Aku menahan diri untuk menjawab. Tidak perlu membayangkan pun aku tahu benar bagaimana rasanya. Pasal, aku pernah.
Setelahnya, perempuan itu terbata-bata bercerita. Sambil tersedu dan terisak, tentu saja. Ia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Padahal, bukan salah siapa-siapa. Kalau tidak jodoh memangnya mau bagaimana?
"Badai hanya singgah sementara, nggak menetap selamanya," ujarku pada perempuan itu, "Selalu ada pilihan cara untuk melaluinya. Dihadapi, atau ditunggu hingga berlalu dengan sendirinya."
Aku sudah pernah menggunakan cara yang kedua saat perempuan di hadapanku ini mendatangkan badai yang begitu dahsyat. Siapa yang sangka bahwa kini ia harus mengalami juga dengan cara yang sama?
"Ini pasti karma. Maaf Mas, aku dulu ...."
"Iya, nggak apa-apa," potongku, enggan membahas panjang lebar.
Badaiku sudah berlalu tiga tahun lalu, saat perempuan ini pergi dengan laki-laki lain pada hari dimana aku hendak melamarnya. Tidak lucu rasanya jika aku harus melalui badai yang sama. Jadi, sebelum aku ikut terlarut, kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini.