Ting!
Bel penanda di atas pintu itu berbunyi saat seorang perempuan dengan parka merah bata membuka pintu. Dengan kepala tertunduk, ia berjalan masuk. Rambut sebahunya yang tampak basah menutupi wajahnya yang lesu. Dari kejauhan, aku bahkan bisa dengan mudahnya tahu bahwa ia baru saja menangis. Tampak jelas betapa merahnya hidung bangir itu, dan betapa sembab kedua matanya yang membengkak.
Entah apa yang dialaminya di luar sana saat hujan badai begini. Aku tidak mau menjadi manusia sok tahu yang mencoba menebak-nebak. Jadi, sambil membawakan buku menu, kuhampiri ia di sudut ruangan untuk mencari tahu.
"Silakan, Mbak." ujarku seraya menyodorkan buku menu kepadanya. Ini masih hari Rabu, bukan jadwal rutinnya mampir kemari. Jadi, aku sangat yakin bahwa ia pasti hanya mampir sebentar, mungkin berteduh. Meski begitu, setidaknya ia harus pesan sesuatu, 'kan?
"Yang paling pahit apa, Mas? Mau satu." Pinta perempuan itu tanpa membuka buku menu, seolah apa yang ditawarkan sudah dihapalkannya di luar kepala.
Aku tahu ada yang tidak beres. Sebab, sepasang mata indahnya kali ini bersinar begitu redup. Sunggingan senyum di bibirnya pun terasa getir.
"Hujan-hujan gini, kalau saranku sih mending cokelat panas. Hidup udah pahit, Mbak, jangan ditambah lagi," saranku mencoba sedikit menghiburnya.
Perempuan itu mendongak, "Kamu ngeledek, ya?" Aku meringis, tidak merasa bersalah. Tersinggung pun perempuan ini tidak bisa kemana-mana, 'kan?
"Ya udah, boleh. Cokelat panas satu," pesan perempuan itu membuatku mengulum senyum. Saranku diterima rupanya.
Segera, aku kembali ke balik meja bar untuk meracik cokelat panas untuknya. Tak sampai lima menit, cokelat panas sudah siap hidang. Kusisipkan dua potong biskuit di samping cangkir putih di atas nampan, lalu berjalan menuju perempuan itu untuk mengantarkan.