Oleh Buya Yahya*
Ketenangan hidup adalah kondisi ketika terjadi sinkronisasi antara pikiran (yang terjadi di dalam otak) dan perasaan yang diwakili oleh hati.
Pikiran yang tidak tenang membuat perasaan menjadi sama kacaunya. Sebaliknya, jika perasaan sedang gelisah karena satu hal dan hal lainnya, maka pikiran juga tidak bisa memaksa perasaan untuk tenang.
Ketenangan hidup bukan hanya soal jasad atau banyaknya harta, karena tidak semua orang yang berkelimpahan secara materi dapat terhindar dari kegelisahan. Bukan juga soal suami atau istri yang rupawan.
Ketenangan atau kedamaian hidup merupakan akibat murni dari tertatanya pikiran dan perasaan. Lalu, tinggal bagaimana kita bisa membuat pikiran dan perasaan seirama, berjalan beriringan.
Jawabannya sederhana saja, yaitu tidak menggantungkan pikiran dan perasaan kepada sesuatu yang membuat kita gelisah. Dan, masalahnya orang kerap menjadikan dunia sebagai tempat bergantung.
Orang yang mengikat pikiran dan perasaannya kepada dunia, tak jarang malah menemui kekecewaan di ujungnya, karena memang dunia tidak selalu memberikan apa yang diinginkan manusia. Dan, di saat itu terjadi, lantas dia merasa gelisah dan putus asa.
Maka dari itu, orang boleh mencari dunia, tetapi tidak boleh menggantungkan pikiran dan hatinya kepada dunia tersebut. Bahasa kerennya, enggak usah over thinking apalagi baperan deh sama dunia yang tidak kekal ini.
Tanda bahwa orang yang pikiran dan perasaannya telah bergantung kepada dunia, yaitu pada saat kehilangan uang Rp100.000 dia menjadi sedemikian gelisah.
Tidak demikian dengan orang yang hanya menggantungkan hidup dan matinya kepada Allah. Bahkan, menyumbangkan uang satu miliar rupiah untuk membangun pondok pesantren pun dia justru merasa tenang.
Itulah buah dari manisnya bergantung kepada Allah. Di saat jasadnya sakit, dia percaya bahwa Allah sudah menyiapkan imbalan kepadanya, sehingga rasa sakitnya reda dan lebih cepat sembuh.
Jika imbalan di akhirat terasa jauh dan lama, bayangkan seorang Ibu yang hamil tua dan tidak bisa melahirkan dengan normal. Dokter menyarankan agar si Ibu harus menjalani operasi sesar. Kemudian, dengan senang hati dia siap untuk dilakukan pembedahan pada perutnya. Memang sakit, tapi dia sudah menanti sesuatu yang lebih menyenangkan, yaitu kelahiran si bayi.
Begitulah konsep ujian dari yang sebenarnya di dunia ini, kuat dan lemahnya kita menghadapi ujian tergantung di mana kita meletakkan harapan. Karena sekali lagi, orang yang cepat putus asa dan melakukan tindakan yang di luar akal sehat mutlak disebabkan 'tidak punya Tuhan.' Tidak ada Tuhan di hatinya.
Jadi, mari kita mulai membiasakan hidup bersama Allah, di mana pun dan kapan pun. "Dengan mengingat Allah jiwa menjadi tenang," (Ar-Ra'd: 28).
Dalam hal ini, kita bisa meniru gaya hidup orang-orang di kampung. Mereka hidup dengan sangat sederhana, penghasilan satu hari hanya cukup untuk makan di hari itu juga. Namun, tidak ada masalah pada hidupnya.
Menariknya lagi, mereka punya banyak waktu untuk bercanda ria bersama anak dan istrinya. Suatu hari ketika dia berangkat ke ladang atau ke laut untuk bekerja, istrinya akan menyiapkan sarapan untuk dibawa sang suami. Lalu, saat kembali ke rumah, si suami membawakan tangkapan burung atau ikan untuk keluarganya. Sangat indah.
Keadaan yang sebaliknya bisa kita temukan pada rumah tangga orang yang hanya orientasi hidupnya hanya dunia, harta kekayaan. Mungkin rumahnya besar dan mobilnya mewah, tetapi dalam hati dia belum tentu merasakan kebahagiaan yang hakiki. Kehidupannya dipenuhi kegelisahan.
Biasanya hal yang digelisahkannya itu tidak jauh-jauh seputaran cicilan. Kalau tidak, masalah renggangnya hubungan suami istri dan anak akibat terlampau sibuk mengurusi dunianya di luar.
Dengan demikian, susah yang sesungguhnya adalah ketika orang jauh dari Allah. Karena jika orang sudah jauh dari Allah, masalah kecil pun menjadi sangat susah. Namun, kalau dekat dengan Allah, bencana apa saja akan membuat orang tetap tenang karena dia memahami bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya, semuanya dari Allah. Semuanya baik.
Maka tak heran ketika para solihin diuji dengan kefakiran, hal ini malah menjadi 'syiarnya orang-orang besar.' Mereka tidak menganggap kefakiran adalah suatu kerendahan.
Jadi, kunci pertama dari ketenangan adalah bagaimana pikiran dan perasaan kita terbiasa dengan Allah, Allah, dan Allah.
Di samping itu, bergabung di tempat-tempat penuh kemuliaan semacam pengajian akan menambah kesejukan batin, karena Allah sudah berjanji untuk menurunkan rahmat-Nya di situ. Biarpun secara zahir (yang tampak kasat mata) perkumpulan semacam itu tidak terlihat seperti hiburan bagi jiwa.
Lain halnya hiburan berbau maksiat seperti dugem. Efeknya memang langsung, tetapi hanya berlaku sesaat alias tidak permanen. Begitu seseorang ke luar dari tempat tersebut, jiwanya kembali diisi oleh kegelisahan dan kegelisahan yang tak pernah hilang.
Jadi, berkumpul dengan orang yang baik, saleh, bahagia akan membawa kesejukan tersendiri bagi batin, karena saat itu kita sedang tertular oleh energi positif yang memancar dari diri mereka.
Nah, jika berkumpul dengan orang-orang saleh saja bisa membuat kita lupa dengan segala permasalahan, bagaimana seandainya kita dekat dengan Allah Subhana wa Ta'ala, dan bagaimana jika kita dekat dengan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alihi wa Sallam.
Kunci yang ketika, biasakan untuk berzikir sembari banyak merenung tentang nasib kita setelah mati di akhirat kelak, pun merenungi tentang kedudukan dunia dibandingkan dengan kebesaran Allah, Tuhan yang menguasai langit dan bumi.
Jika pun mencari dunia, hendaknya dipersembahkan untuk Allah, bukan untuk menyuburkan kesombongan dan membesarkan kerakusan kita.
Pasalnya, bila kita semata-mata mengejar dan bergantung pada dunia, hasilnya hanya akan membuat batin kita tersiksa oleh keresahan demi keresahan tak berkesudahan.
Seperti yang telah diingatkan oleh Rasulullah bahwa ada orang yang rakus jika diberikan kepadanya satu lembah emas dia meminta dua, diberikan kepadanya dua dia meminta tiga, dan seterusnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada akhirnya, semoga Allah senantiasa menjaga hati kita, serta melimpahkan kekayaan yang sesungguhnya. Kalau pun kita masih fakir dalam hal materi, tapi tidak demikian dengan batin. Karena batin kita sudah kaya bersama Allah.
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Buya Yahya dengan judul asli "Cara Agar Hati Selalu Tenang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H