Itulah buah dari manisnya bergantung kepada Allah. Di saat jasadnya sakit, dia percaya bahwa Allah sudah menyiapkan imbalan kepadanya, sehingga rasa sakitnya reda dan lebih cepat sembuh.
Jika imbalan di akhirat terasa jauh dan lama, bayangkan seorang Ibu yang hamil tua dan tidak bisa melahirkan dengan normal. Dokter menyarankan agar si Ibu harus menjalani operasi sesar. Kemudian, dengan senang hati dia siap untuk dilakukan pembedahan pada perutnya. Memang sakit, tapi dia sudah menanti sesuatu yang lebih menyenangkan, yaitu kelahiran si bayi.
Begitulah konsep ujian dari yang sebenarnya di dunia ini, kuat dan lemahnya kita menghadapi ujian tergantung di mana kita meletakkan harapan. Karena sekali lagi, orang yang cepat putus asa dan melakukan tindakan yang di luar akal sehat mutlak disebabkan 'tidak punya Tuhan.' Tidak ada Tuhan di hatinya.
Jadi, mari kita mulai membiasakan hidup bersama Allah, di mana pun dan kapan pun. "Dengan mengingat Allah jiwa menjadi tenang," (Ar-Ra'd: 28).
Dalam hal ini, kita bisa meniru gaya hidup orang-orang di kampung. Mereka hidup dengan sangat sederhana, penghasilan satu hari hanya cukup untuk makan di hari itu juga. Namun, tidak ada masalah pada hidupnya.
Menariknya lagi, mereka punya banyak waktu untuk bercanda ria bersama anak dan istrinya. Suatu hari ketika dia berangkat ke ladang atau ke laut untuk bekerja, istrinya akan menyiapkan sarapan untuk dibawa sang suami. Lalu, saat kembali ke rumah, si suami membawakan tangkapan burung atau ikan untuk keluarganya. Sangat indah.
Keadaan yang sebaliknya bisa kita temukan pada rumah tangga orang yang hanya orientasi hidupnya hanya dunia, harta kekayaan. Mungkin rumahnya besar dan mobilnya mewah, tetapi dalam hati dia belum tentu merasakan kebahagiaan yang hakiki. Kehidupannya dipenuhi kegelisahan.
Biasanya hal yang digelisahkannya itu tidak jauh-jauh seputaran cicilan. Kalau tidak, masalah renggangnya hubungan suami istri dan anak akibat terlampau sibuk mengurusi dunianya di luar.
Dengan demikian, susah yang sesungguhnya adalah ketika orang jauh dari Allah. Karena jika orang sudah jauh dari Allah, masalah kecil pun menjadi sangat susah. Namun, kalau dekat dengan Allah, bencana apa saja akan membuat orang tetap tenang karena dia memahami bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya, semuanya dari Allah. Semuanya baik.
Maka tak heran ketika para solihin diuji dengan kefakiran, hal ini malah menjadi 'syiarnya orang-orang besar.' Mereka tidak menganggap kefakiran adalah suatu kerendahan.
Jadi, kunci pertama dari ketenangan adalah bagaimana pikiran dan perasaan kita terbiasa dengan Allah, Allah, dan Allah.