Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tahun 2023 Telah Berlalu, Waktunya Benahi Mindset!

31 Desember 2023   20:32 Diperbarui: 2 Januari 2024   04:07 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keterasingan. Sumber gambar: PEXELS

Dalam hitungan jam, tak lama lagi tahun 2023 akan segera meninggalkan kita semua. Selama-lamanya.

Bagi saya pribadi, sulit untuk menggambarkan kata-kata dan kalimat yang tepat untuk diucapkan dalam mengiringi kepulangan tahun yang penuh cerita ini.

Terlalu banyak bayangan yang berseliweran ketika saya harus menuliskan hikmah tahun 2023 di rumah tercinta, Kompasiana. Apalagi, agak aneh membuat tulisan semacam diary yang akan dibaca banyak orang seperti ini.

Namun, sebagai rasa syukur saya yang mendapat kesempatan menjadi bagian dari keluarga besar Kompasiana, di tahun ini juga, saya tidak ragu untuk meninggalkan sebanyak mungkin jejak positif yang mungkin suatu hari nanti dapat dikenang.

Baiklah, begini kisahnya.

Terasing, jika saja satu kata tersebut saya anggap cukup mewakili apa yang menjadi inti tulisan ini. Satu tahun penuh, menjadi yang pertama kali dalam kehidupan saya terasing dari dunia luar, bahkan terasing dari diri sendiri. Ini belum mencakup 6 bulan di tahun 2022 sebelumnya. Jadi, saya mendekam di dalam rumah  selama satu setengah tahun!

Sejujurnya, saya tidak sedang melebih-lebihkan tulisan ini. Dalam makna yang sesungguhnya, saya betul-betul terasing dari segalanya. Penyebabnya? Satu keadaan.

Semuanya berjalan dengan begitu cepat tanpa pernah saya antisipasi. Segala fasilitas hidup yang sebelumnya nyaris tanpa perlu bersusah payah untuk saya dapatkan tiba-tiba hilang tak berbekas. Motor rusak, handphone rusak.

Pun dari keadaan mapan secara finansial lalu saya jatuh hingga ke kedalaman yang tidak pernah saya ketahui di mana dasarnya. Semua itu membawa diri saya pada episode kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Jangankan hidup bermewah-mewah, sekadar memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari pun saya terseok-seok dalam setiap upaya mencarinya. Solusinya?  cashbon di warung.

Imbasnya, keadaan itu cukup untuk menjatuhkan mental dan kepercayaan diri saya. Saya yang sebelumnya begitu aktif dalam setiap mengikuti berbagai kegiatan sosial, dari yang sekadar kongkow-kongkow hingga aktivitas kemanusiaan, lalu 180° berubah menjadi sosok pecundang yang gemar mengurung diri selama mungkin. Sejak terbit matahari hingga terbenamnya.

Nasihat-nasihat, diskusi, dan waktu yang biasa saya curahkan kepada sahabat, keluarga, serta khalayak umum, baik itu secara langsung maupun lewat tulisan di jejaring sosial, lenyap tak berbekas. Ya, saya memang suka sekali bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang, setidaknya sebelum peristiwa istimewa ini.

Bagaimana bisa saya memberikan ceramah seperti segala hal yang pernah saya lakukan dulu sementara hidup saya sendiri sudah sangat hancur. Begitu pikir saya saat itu.

Lantas, agar keterasingan saya menjadi lebih sempurna tanpa gangguan dari siapa pun lebih baik mengganti nomor telepon. Saya minder!

Berbulan-bulan lamanya, alam masih juga berkonspirasi dalam menenggelamkan harga diri saya sebagai pria sebagaimana mestinya. Itu lantas membuat geram Ibu saya hingga tak jarang terjadi adu mulut guna saling membela diri antara seorang Ibu dan anak lelakinya yang pecundang. Keadaan makin kacau.

Sekadar tak tahan mendengar ocehan Ibu yang terus-terusan menekan saya untuk mencari pekerjaan, hasilnya adalah 3 kali saya bertemu atasan menyebalkan dan 3 kali juga terjadi pemecatan akibat kinerja saya yang sangat buruk. Masih untung itu baru pekerjaan paruh waktu dengan sistem remote working.

Keadaan makin diperparah dengan timbulnya dua penyakit aneh yang menimpa saya.

Pertama, suatu ketika di pagi hari saat hendak beranjak dari tempat tidur, saya tidak bisa berdiri lantaran kedua kaki saya terasa nyeri dan berat seperti batu. Alhasil, untuk sekadar bangun dari tempat tidur harus dengan bantuan.

Mengingat segala keterbatasan yang tengah kami alami, saya sudah tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Saya pikir saat itu saya akan lumpuh.

Alhamdulillah, penyakit misterius itu hanya berlangsung sehari semalam. Keesokan paginya saya meloncat karena saking bahagianya, meski penyakit ini ke depannya dua kali kambuh.

Kedua adalah demam tinggi yang disertai kucuran keringat deras yang tak pernah berhenti. Demam ini terjadi selama kira-kira dua minggu. Dokter rupanya tidak memberikan keterangannya lebih jauh selain meresepkan 4 jenis obat-obatan. Dan, inilah untuk kali pertama saya harus berobat menggunakan BPJS.

Upaya-upaya untuk Bangkit

1. Mengusir Kesepian dengan Membaca Buku

Sekian lama saya menjalani keterasingan itu, barulah di akhir-akhir menjelang hari ulang tahun saya pada November mendatang, seakan ada kekuatan tak tampak untuk menuntun saya membaca beberapa buku lama maupun yang baru yang teronggok bersama debu di rak. 

Dari buku-buku bertemakan biografi tokoh besar, pengembangan diri, hingga motivasi Islam, tak kurang dari 20 buku saya lahap habis selama kurang lebih enam bulan.

Ada begitu banyak pesan-pesan menyentuh yang seolah hanya ditujukan untuk menyelesaikan masalah saya. Perlahan tapi pasti, ego yang sekian lama mengerak di dalam kepala saya terkikis.

Saya jadi sadar, sesadar-sadarnya, bahwa setiap manusia yang hidup pasti mendapat sedikit ujian. Bahkan, sekaliber Nabi dan Rasul maupun tokoh-tokoh besar dunia tak terlepas dari masalah-masalah kehidupan. Gunanya ujian bukan untuk membebani manusia, sebaliknya masalah atau ujian ada untuk menguatkan manusia. Ya, masalah datang dan pergi silih berganti. Maka, masalah yang tengah saya alami juga pasti akan berlalu.

2. Dekat dengan Al-Qur'an

Lalu, pemahaman tentang hakikat ujian berlanjut membuka seluas-luasnya kesadaran saya tentang tabiat manusia. Sesuai fitrahnya (default factory settings), semakin jauh diri manusia dari tujuan diciptakannya maka semakin jauh pula dari yang mengadakan/menciptakannya.

Semakin dirinya berjarak dari penciptanya, otomatis dia jauh dari petunjuk dalam mengarungi kehidupan yang mendekatkannya pada kebahagiaan hakiki.

Dalam konteks kasus saya, saya menyadari betapa harta membuat saya kian jauh dari yang Maha Kaya. Tuhan Semesta Alam. 

Beberapa ayat yang saya temukan di dalamnya seketika 'menampar' muka saya dengan sindiran bahwa dalam setiap kesuksesan kecil yang telah saya peroleh, saya merasa hebat sendiri dengan melupakan peran-peran-Nya.

Maka, tidak ada lagi alasan bagi saya untuk menunda-nunda pengenalan kepada-Nya melalui petunjuk-petunjuk di dalam kitab suci-Nya. Sebagai pemeluk agama Islam, dalam hal ini saya kembali kepada Al-Qur'an.

3. Komitmen yang Kuat dan Kokoh

Akhirnya, saya pun tahu bahwa dua pemahaman di atas hanya akan menjadi pengetahuan yang lalu jika saya tidak mempunyai komitmen yang kuat dan kokoh untuk menghindari murka-Nya dalam bentuk pengalaman serupa.

Karena dengan adanya komitmen untuk terus melakukan refleksi lewat pengetahuan dari buku, juga komitmen agar tetap mengenal Tuhan beserta petunjuk-petunjuk di dalam kitab suci-Nya, masalah dan pengalaman terpahit sekalipun dengan hati yang lega saya.

Tepat sekali ketika Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu mengatakan, "Sesuatu yang tidak membunuhmu justru akan menjadikanmu lebih kuat."

Pada akhirnya, keterasingan tidak selalu seburuk yang ditakutkan banyak orang. Sepintas pengalaman-pengalaman ini, bagi saya benar-benar menjadi hikmah tahun 2023 yang indah dan tak terlupakan. Sejak saat itu, dua penyakit aneh tadi hilang sama sekali.

Resolusi Tahun 2024, Masih Relevankah?

Saya pribadi beranggapan bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari pada sekadar menyusun, mengotak-atik, dan memperindah resolusi di setiap pergantian tahun.

Saya sendiri terkadang dengan menggebu-gebu pada saat merancang berbagai macam resolusi baru yang indah-indah. Dua belas bulan berlalu, tahu-tahu sudah tiba lagi akhir tahun, sedangkan resolusi yang sudah dibuat sebelumnya baru tercapai beberapa saja, kalau enggan dikatakan sama sekali tidak tercapai.

Jadi, ketimbang menyesali resolusi yang belum bisa terwujud lalu disibukkan kembali dengan membuat yang baru, saya menyadari bahwa mindset-lah hal utama yang perlu saya beri perhatian lebih untuk kemudian memperbaikinya.

Mindset atau pola pikir adalah muara dari segala sesuatu yang memancarkan baik dan buruknya kualitas yang ada pada diri seseorang. Sederhananya, pola pikir yang mengupayakan perbaikan-perbaikan untuk segala aspek kehidupan, maka setiap hasil dan pencapaian yang di luar sudah pasti seirama dengan yang ada di dalam.

Singkatnya, ketika semua keinginan yang sepertinya selalu menjauh dari kehidupan, kini saya tahu bahwa masalahnya bukan terletak pada resolusinya sehingga repot-repot membuat dari awal lagi, melainkan yang pertama-tama harus diubah adalah mindset.

Lebih penting lagi, harapan saya agar diri saya menjadi manusia yang terus melakukan perbaikan tidak hanya pada momen-momen tertentu layaknya tiap perhatian tahun, tapi perbaikan diri yang saya lakukan secara terus menerus (kaizen).

Selamat datang tahun baru 2024 M dan terima kasih tahun 2023 M!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun