Oleh Ustadz Hanan Attaki, Lc*
Di antara begitu banyaknya nikmat yang sering manusia tidak sadari adalah nikmat Allah yang telah menyelamatkan mereka dari banyak kerugian.
Jelas sekali, karena kalau keuntungan kita bisa mengetahuinya dengan merasakannya (berwujud). Berbeda dengan kerugian, seringnya kita tidak bisa mengetahuinya lantaran tidak berwujud.
Contoh sederhananya, kita hindarkan dari jatuh, yang mana berarti tidak ada bekas jatuhnya (lecet), karena kalau lecet berarti jatuh, sedangkan kalau tidak lecet berarti tidak jadi terjatuh alias tidak berwujud.
Karena tidak berwujud, kita kerap luput menyadari bahwa itu merupakan nikmat dari Allah. Maka, kita harus belajar yakin bahwa dalam peristiwa sehari-hari, Allah sering sering menyelamatkan hidup kita, baik itu lecet atau luka fisik maupun 'lecet hati.' Pasalnya, bila ada sesuatu yang terasa menyakiti hati, itu berarti ada masalah dengan diri kita.
Meski begitu, terkadang Allah menyelamatkan kita dari kekecewaan, marah, dan sakit hati, yang kesemuanya itu tidak ada wujudnya. Namun, kita meyakini bahwa sesungguhnya itu adalah nikmat dari Allah.
Begitu luasnya kasih sayang Allah yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya sehingga kita tidak bisa menghitung nikmat Allah, karena memang tidak mungkin mampu menghitungnya.
Bayangkan, bagaimana cara menghitung jumlah tetes air hujan dari langit. Dalam waktu setengah jam, sanggupkah kita menghitung jumlah tetes tersebut? Perihal hujan saja kita tidak sanggup, apalagi nikmat-nikmat yang jauh lebih besar.
Jadi, meski kita tidak menyadari apa nikmat Allah yang datang kepada kita, tetapi kita tidak semata-mata menggunakan logika. Layaknya orang yang dengan logikanya sering menyatakan, "Hidup saya sepertinya begini-begini saja."
Akan tetapi, jika kita orang yang beriman, seharusnya hidup (nasib) kita bahkan lebih parah dari ini. Hidup kita seharusnya banyak diimpit masalah, tetapi atas kehendak-Nya, Allah selamatkan kita dari masalah-masalah itu. Kita diberikan sebagian kecil saja dari banyaknya masalah sebagai pengingat untuk diri kita.
Padahal, jika tidak diberi masalah sama sekali, kita terkadang suka menjauh dan lupa dengan Allah. Karena Allah rindu dengan kita. Di antara berbagai hadits yang ada, rindu-Nya Allah dengan kita, dengan hamba-hamba-Nya, Dia akan memberikan ujian kepadanya. Hamba seperti ini merupakan orang yang apabila tidak diberi ujian, dia tidak mendekat kepada Allah.
Maka dari itu, jika Allah sedang rindu dengan kita, sementara kita termasuk hamba yang tidak dekat dengan Allah, tanpa ada keraguan Allah beri kita ujian, tentu saja ujian yang Insya Allah kita mampu melewatinya.
Pasalnya, Allah tidak ingin memberi ujian yang mencelakai kita. Kalau itu terjadi, namanya bukan ujian melainkan azab, dan Insya Allah orang beriman tidak mendapatkannya. Sebab, azab didapatkan oleh orang-orang sekelas Fir'aun, Haman, Qarun, Namrud, Abu Jahal, dan Abu Lahab.
Orang yang beriman (Muslim) tapi tingkat kesalehannya biasa saja, Insya Allah tidak mendapat azab melainkan ujian.
Lalu, kenapa Allah rindu dengan kita? Tidak lain Allah rindu curhatan kita di tengah atau sepertiga malam, rindu melihat tangis dan manja kita, rindu untuk mendengarkan munajat kita, dan Allah rindu kita berdiri dan sujud dengan waktu yang lama. Karena di saat itu, terkadang tak terasa orang sujud hingga setengah jam untuk total berserah diri kepada Allah.
Untuk itulah, Allah memberikan sedikit saja ujian dibandingkan dengan masalah yang Allah hindarkan dari kita.
Apa buktinya kita dihindarkan dari masalah-masalah yang sejatinya sangat banyak itu?
Kalau ada buktinya itu namanya tidak dihindarkan, bila sudah berwujud berarti kita terkena, karena kalau kita terhindar darinya sudah pasti tidak ada wujudnya.
Kemudian, bagaimana kita tahu semua itu? Mungkin kita memang tidak  mengetahuinya, tetapi kita bisa menggunakan Iman (meyakininya). Maka dari itu, kita tidak dapat hanya mengandalkan logika yang terbatas. Karena Allah menyelamatkan kita di siang maupun malam hari.
Kulla yaumin huwa fii saan. "Tiada Tuhan selain Allah, Dzat yang setiap hari berada dalam kekuasaan-Nya (Surah Ar-Rahman ayat 29). Salah satu tafsir dari kalimat "fii saan"Â adalah Allah sibuk menyelamatkan kita setiap hari.
Setiap hari. "Kulla yaumin". Sibuk menyelamatkan Fulan Fulanaha, sebanyak jumlah manusia sebanyak itulah yang Allah selamatkan. Bukan hanya Mukmin, bahkan orang yang tidak mengimani Allah juga diselamatkan, tetapi hanya di dunia sedangkan tidak ketika di akhirat.
Di dunia, semua rahmat Allah diberikan kepada baik yang Mukmin maupun yang bukan Mukmin, tapi di akhirat Rahmat-Nya hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman.
Mengapa di dunia Allah memberi rahmat bagi orang yang tidak beriman? Karena di sisi Allah dunia itu kecil, tidak terlalu berharga, maka Allah berikan semuanya.
Sementara itu, akhirat itu berharga, maka hanya berlaku bagi yang Allah sayangi, hanya bagi yang Allah pilih, yakni orang yang beriman.
Jadi, berpikir bahwa Allah sepertinya tidak adil lantaran orang tidak beriman diberi rahmat di dunia adalah salah. Karena di sisi Allah dunia itu tidak terlalu berharga, tidak ada apa-apanya.
Kita masih ingat tentang hadits yang mengatakan bahwa seandainya dunia itu ada harganya meskipun hanya sebelah sayap nyamuk, tidak akan Allah berikan dunia itu kecuali kepada orang beriman. Namun, berhubung dunia lebih ringan bahkan daripada sebelah sayap nyamuk, maka diberikan kepada semuanya.
Jika diibaratkan ada seorang suami yang membelikan es krim seharga 3000 rupiah di pinggir jalan, lalu sang suami membayar dengan uang 5000 rupiah dan dia tidak meminta kembalian dari si pedagang, tentu si istri tidak akan komplain dan mengatakan, "Kemarin aku nggak dikasih." Kenapa? Karena hanya 2000 rupiah.
Bayangkan jika suami memberi 100.000 rupiah, pasti keadaannya akan berbeda. Karena 2000 itu adalah sesuatu yang ringan, maka si istri tidak perlu komplain karena biasa diberi lebih dari jumlah itu.
Nah, seharusnya kita sadar bahwa dunia itu cuma '2.000-an', tidak terlalu berharga walaupun tetap butuh. Tidak berharga tapi juga butuh, sehingga ketika ada orang yang tidak beriman diberi '2000-an' seperti itu, kita yang beriman tidak iri dengan apa yang diterimanya.
Demikian, semoga nasihat ini bisa menjadi rujukan bagi orang-orang beriman dalam berpegang pada jalan Allah, ketika dihadapkan pada cobaan hidup, di mana pun dan kapan pun.
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Ustadz Hanan Attaki dengan judul asli "Allah Tahu Kapan Kita Akan Bahagia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H