Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN 2023 (Negara-Negara Asia Tenggara) yang ke-43 di Jakarta Convention Center, pada 5-7 September esok, berpeluang memberikan beragam manfaat.Â
Hal ini dapat dilihat dari tema yang diusung Indonesia, yaitu ASEAN Matters: Epicentrum of Growth, yang memberikan makna peran penting ASEAN bagi ekonomi kawasan maupun global.Â
KTT ASEAN 2023 turut dihadiri negara-negara mitra, yakni India, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Federasi Rusia, dan Amerika Serikat.
Direncanakan pula hadir pemimpin Pacific Island Forum, Perdana Menteri Kanada, Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF), serta perwakilan Bank Dunia (World Bank) dalam pertemuan KTT ASEAN 2023 di Jakarta.
Hal ini tak lain karena KTT ASEAN 2023 akan membahas perkembangan dan penguatan kerja sama ASEAN dengan mitra eksternal.
Pertemuan KTT ASEAN 2023 turut membahas beberapa subtema penting, mulai Code of Conduct terkait Laut China Selatan (LCS), South East Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ), ASEAN Maritime Outlook, ASEAN Outlook in Indo Pacific (AOIP), sampai isu terkait Myanmar.
Salah satu di antara berbagai hal tersebut, isu yang paling menarik sekaligus krusial untuk diulas dalam konteks Asia Tenggara menurut hemat saya adalah berlarutnya sengketa LCS. Dengan kata lain, harapan saya dan kita semua kiranya adalah tetap dapat menikmati kehidupan dalam perdamaian.Â
Pasalnya, jika konflik tersebut tidak segera terselesaikan dengan baik, keamanan di kawasan bisa terancam oleh terjadinya perang terbuka yang tentu sangat merugikan berbagai pihak, khususnya Indonesia.
Kepentingan Tiongkok di LCSSebagai aktor utama dalam sengketa di perairan LCS, Tiongkok masih tetap pada klaimnya terhadap hampir seluruh wilayah LCS, yakni sekitar 90% yang meliputi area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi, dengan nine-dash-line atau konsep sembilan garis putus-putus.Â
Klaim teritorial sepihak tersebut tumpang tindih dengan klaim delapan negara anggota ASEAN dan Taiwan. Selain dengan Tiongkok, LCS berbatasan dengan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.Â
Menurut Bonji Ohara, seorang ahli asal Jepang, setidaknya ada tiga alasan utama Tiongkok mencoba menguasai LCS. Bahkan, laut marjinal merupakan kunci keamanan Negeri Tirai Bambu tersebut.
- Pertama, LCS penting untuk patroli strategis kapal selam rudal balistik nuklir atau SSBN Tiongkok, yang perlu memasuki Samudera Pasifik barat guna pencegahan nuklirnya terhadap AS.Â
- Kedua, LCS akan berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) bagi Tiongkok jika dan ketika AS melakukan serangan militer terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut (layaknya Ukraina yang menjadi buffer zone bagi Rusia).Â
- Ketiga, lantaran perairan LCS menyumbang setidaknya sepertiga dari perdagangan maritim global, maka dalam hal ini Tiongkok membutuhkan jalur laut untuk mobilitas transportasi lautnya. Sementara itu, mereka juga sangat tertarik pada cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, dan disinyalir berada di bawah dasar laut, termasuk tempat penangkapan ikan yang penting untuk ketahanan pangan nasional Tiongkok.
Dilema ASEAN
Di pihak ASEAN, sulitnya penyelesaian sengketa wilayah LCS disebabkan setiap negara yang terlibat mempunyai kepentingan sendiri dan menempuh pendekatan sendiri meskipun beberapa negara yang mengklaim masuk dalam wadah ASEAN.
Empat negara anggota ASEAN tersebut, yakni Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam, memperebutkan wilayah di Kepulauan Spratly dan Paracel yang juga diklaim oleh Tiongkok.
Sengketa LCS sejatinya menjadi salah satu topik pembahasan KTT ASEAN di Kuala Lumpur pada 26-27 April 2015 yang lalu. Filipina mendesak ASEAN bersikap tegas terhadap Tiongkok, khususnya menyangkut reklamasi pantai di wilayah yang juga diklaim oleh Filipina, tetapi Malaysia justru menghendaki pendekatan yang lebih lunak.
Ini disebabkan Tiongkok menjadi sebagai salah satu mitra dagang terbesar bagi Malaysia sehingga mereka mengedepankan pendekatan lebih lunak dibandingkan Filipina dan Vietnam.
Selain itu, berbagai kepentingan lain antara negara-negara ASEAN-Tiongkok tidak hanya menyangkut masalah LCS, melainkan mencakup aspek ekonomi, politik, dan diplomatik yang mungkin lebih penting daripada apa yang terjadi di LCS.
Tak terkecuali bagi Indonesia sendiri yang kerap berdalih bahwa posisi ketidakberpihakan pada kubu mana pun adalah bukti implementasi kebijakan luar negeri bebas-aktif yang dianutnya. Padahal, jika mau ditilik lebih dalam, keengganan Indonesia untuk bersikap tegas terhadap beberapa aksi provokasi Tiongkok di Laut Natura Utara, sebenarnya justru menunjukkan fakta bahwa secara ekonomi, Indonesia masih sangat bergantung pada Tiongkok.
AS Sarat Kepentingan
Selain karena sifat isu sengketa LCS yang penuh benturan kepentingan dan berpotensi mengganggu stabilitas kawasan, keterlibatan Amerika Serikat (AS) juga menarik karena AS bukan merupakan pihak yang bersengketa langsung dalam klaim wilayah di LCS.
Pergeseran kebijakan AS menjadi 'high-profile intervention' di kawasan Asia-Pasifik lebih memiliki kaitan dengan keamanan nasional yang harus dilindungi, baik dalam wilayah yang disengketakan maupun pada negara-negara di kawasan tersebut (Haryanto & Bakhtiar, 2015: 278).
AS menyatakan bahwa kehadirannya dalam sengketa LCS hanya dalam upaya untuk menjaga kebebasan navigasi kapal di perairan internasional, menjaga perdamaian dan mengurangi risiko sengketa di kawasan, serta tidak mendukung pihak mana pun dalam sengketa.
Namun demikian, upaya tersebut juga diikuti dengan berbagai aktivitas kerja sama militer di wilayah sengketa. Aktivitas tersebut dapat dilihat, misalnya, melalui kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Filipina pada tahun 2011 untuk menekankan kembali kerja sama militer kedua negara.
Clinton menyatakan bahwa kerja sama kedua negara menjadi dasar dari hubungan bilateral, penguatan visi bersama mengenai kerja sama strategis, politik, ekonomi, dan hubungan people-to-people (VOA, 2011).
Lalu apa?Â
Jalan Tengah Indonesia
Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-56 bulan Juni lalu, Retno Marsudi, selaku Menlu RI mengatakan, negara anggota ASEAN berkomitmen untuk memperkokoh soliditasnya. Maka, guna mempersiapkan hadapi tantangan masa depan, para Menlu ASEAN sepakat untuk mulai membahas ASEAN Concord IV.
Draft terakhir ia harapkan bisa disampaikan pada KTT ASEAN 2023 untuk mendapatkan persetujuan para pemimpin ASEAN. Concord ini disepakati untuk menjadi visi dan panduan ASEAN untuk jangka panjang, ASEAN 2045.
ASEAN harus bisa mendorong langkah lebih lanjut terkait penyelesaian konflik LCS. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir ASEAN terkesan kurang dihormati keberadaan maupun peranannya di kawasan. Dalam artian, seharusnya ASEAN menjadi penengah konflik LCS.
Ketika sudah terjadi kesepakatan pada KTT ASEAN 2023 nanti, apa pun keputusan yang diperoleh harus dihargai dan tidak ada konflik susulan. Dengan demikian, Tiongkok dan negara-negara lain yang saling mengklaim dan terus bertikai berkepanjangan tidak menemui titik buntu di kemudian hari.Â
Keberhasilan Indonesia pada saat menjadi presidensi G-20 tahun lalu diharapkan mampu melanjutkan keberhasilannya pada KTT ASEAN 2023 di Jakarta esok. Sinergisitas yang solid antarnegara ASEAN sangat dibutuhkan dalam menjawab berbagai tantangan di depan.
Terlebih dalam memori kelembagaan ASEAN, Indonesia dikenal memiliki rekam jejak kepemimpinan yang baik, karena bagaimanapun Indonesia sebagai sebuah kekuatan di kawasan ini pernah menjadi Macan Asia. Masyarakat berharap kepemimpinan Indonesia di ASEAN tahun ini bisa mewujudkan sejumlah target yang ditetapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H