Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Hal-Hal yang Saya Pelajari dari Perceraian Orangtua

19 Juli 2023   15:13 Diperbarui: 28 Agustus 2023   23:00 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dampak perceraian orangtua terhadap anak. Sumber: Dok. Pribadi

Tak hanya bagi masa-masa pertumbuhan anak, perceraian juga dinilai dapat meninggalkan dampak negatif bagi semua anggota keluarga, seperti perasaan trauma, marah, kecewa, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah selalu berdampak seburuk itu?

Dampak perceraian seringkali dikaitkan dengan kesan yang buruk. Seperti berdasarkan beberapa riset, 25% dari jumlah anak hasil perceraian ketika memasuki usia dewasa awal memiliki masalah serius secara sosial, emosional atau psikologis ketimbang 10% dari anak yang mempunyai orangtua masih tetap bersama.

Beberapa penelitian lebih berani mengungkapkan bahwa anak yang memiliki orangtua bercerai memang lebih berisiko mengalami perceraian di masa dewasanya. Namun, ini belum jelas apakah perceraian disebabkan oleh masalah mereka sendiri atau memang konflik orangtua berdampak sangat besar terhadap hubungan anak-anaknya di masa depan.

Untuk memastikan, Constance Gager, seorang peneliti dari Montclair State University di New Jersey dan rekan-rekannya menganalisis hasil survei nasional yang melibatkan hampir 7.000 pasangan menikah beserta anak-anak mereka di Amerika Serikat.

Hasilnya, anak-anak yang dibesarkan di dalam lingkungan orangtua yang sering bertengkar dan akhirnya bercerai, justru mereka memiliki hubungan lebih baik di usia dewasanya kelak, dibandingkan dengan anak-anak di dalam lingkungan orangtua yang sering bertengkar tapi tidak memutuskan bercerai.

Penelitian ini telah memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan anak ketika menginjak usia dewasa. Contohnya, apakah anak-anak cenderung mengalami kesulitan bergaul dengan orang lain atau tidak.

Sebagai seorang anak dari korban perceraian orangtua sejak di bangku sekolah dasar, saya merasa perlu untuk sedikit mengungkapkan masalah ini. Memang, ketika pertama kali melihat topik pilihan bertemakan "MENYIKAPI SITUASI SETELAH PERCERAIAN" yang disediakan Kompasiana, seakan saya ingin berteriak kencang-kencang, "Kesempatan nih keluarin unek-unek!". Dalam artian, saya ingin menumpahkan segala keluh kesah ketika menjadi seorang anak korban broken home.

Namun, apa yang akan saya dapatkan dengan hanya meratapi sesuatu yang sudah berlalu begitu lamanya, dan akan terus berlalu selama-lamanya, sedangkan kehidupan akan terus berjalan untuk membagi-bagikan anugerah dan kebahagiaan kepada orang yang mau menerimanya. Saya malah rugi berganda: mendapat energi negatif dan kebahagian hilang.

Ilustrasi dampak perceraian orangtua terhadap anak. Sumber: Dok. Pribadi
Ilustrasi dampak perceraian orangtua terhadap anak. Sumber: Dok. Pribadi

Menyadari bahwa ternyata saya mampu melewati salah satu masa yang menurut sebagian pihak "paling traumatis" itu hingga menjadi diri saya yang sekarang, merupakan sedikit hal yang dapat saya banggakan. 

Dan, inilah cerita di balik perceraian orangtua berdasarkan pengalaman pribadi.

Dikelilingi teman-teman yang baik dan supportif

Sebelum terjadi perceraian tersebut, saya diasuh oleh nenek dari pihak Ayah di Jawa. Lalu, di usia kenaikan ke kelas 6 SD (saya lupa tepatnya umur berapa), Ibu kembali menitipkan saya kepada nenek dari pihak Ibu di Sumatera, karena beliau saat itu merupakan seorang tenaga kerja wanita di luar negeri.

Di tempat yang baru inilah saya menghabiskan masa kecil bersama teman-teman yang sangat baik dan selalu pengertian. Saya katakan demikian karena meskipun mereka semua orang kampung, tetapi sikap ditujunkkan sangat luar biasa berkelas.

Dalam keadaan marah sekalipun, tak sekali pun mereka pernah berbuat maupun berkata tentang sesuatu yang menyinggung perasaan saya terkait status saya sebagai anak broken home.

Malahan, dukungan langsung maupun tidak langsung kerap saya dapatkan dari anak-anak dan orang tua mereka. Mereka sudah seperti keluarga kedua saya.

Pengalaman demi pengalaman saat mencoba hal-hal baru

Seperti yang lazimnya dialami oleh remaja pubertas, saya kian tumbuh menjadi anak yang ingin serba tahu dan mencoba segala hal. 

Saya perlu merincikan berbagai hal tesebut. Cukuplah beberapa yang secara umum menjadi kesukaan orang lain.

Suatu saat saya ingin menjadi anak band terkenal yang menelurkan banyak album lagu. Maka saya kerap mengoleksi VCD dan poster dari band-band favorit.

Di hari lain saya ingin pembalap motor profesional karena saya hobi motor-motoran di jalan raya. Terlebih sejak di bangku SMP saya sudah dipercayai untuk memiliki motor gede (moge). Maka saya pun banyak mengoleksi poster-poster pembalap dunia favorit saya.

Begitu pun di saat-saat berikutnya saya ingin menjadi penulis karena saya juga hobi dalam menulis puisi dan cerpen.

Ya, begitulah dunia anak-anak. Dari mulai di usia SMP hingga SMA, anak-anak remaja sangat membutuhkan wadah untuk menyalurkan kreativitas. Kesalahan yang selama ini dilakukan para orangtua adalah mengekang kemauan sang anak, untuk kemudian memaksakan kehendaknya sendiri "demi kebaikan anak".

Jika itu terus dilakukan, maka bersiaplah bagi para orangtua ketika sang anak melakukan pemberontakan dengan mencari pemuasan pada hal-hal merugikan di luar rumah.

Jika di usia SMP hingga SMA adalah pencarian jati diri anak, maka masa-masa kuliah merupakan waktu di mana anak memerlukan pengakuan dari orang lain.

Ingin mendapat pengakuan

Untuk sekali lagi mengalihkan ingatan kelam dari perceraian orangtua, rasa keingintahuan semakin bertumbuh lebih kuat seiring menyambut usia dewasa. 

Selain itu, mental persaingan yang selama ini saya dapat lewat pendidikan dan lingkungan, perasaan ingin lebih unggul dalam segala hal kian terpupuk tanpa saya sendiri menyadarinya.

Jadi, dalam hal apa pun menyangkut hubungan dengan orang lain, bahkan dengan teman dan keluarga, saya selalu berupaya untuk tampil lebih baik dari siapa pun, entah tujuan itu berhasil diraih atau pun sebaliknya. Paling tidak, memori "kelam" masa lalu itu bisa tetap teralihkan.

Beruntungnya, berkat kehadiran satu atau dua teman yang tulus ingin terus menjalin persahabatan, saya merasa bahwa hidup adalah tentang kerjasama dalam ikatan cinta. Bekerjasama dalam segala hal untuk menjadikan dunia sebagai tempat tinggal memiliki makna bagi semua di atasnya.

Mengenal Tuhan dan mendalami agama

Memasuki usia saya yang berganti dewasa, di sinilah saya melihat persimpangan yang terbentang untuk saya. Saya memang tak pernah menyesal dengan segal hal yang pernah terjadi dan apa yang telah saya alami. Namun, saya merasa harus segera menemukan hakikat  diri berada dan apa tujuan esensial saya.

Saya tidak bisa terus menerus hidup dengan tujuan sesaat agar bisa melupakan pengalaman buruk tersebut, seperti yang selama ini terus saya upayakan. Jika saya terus menghindar dari kenyataan itu maka sama saja saya tengah memilih jalan menuju kehancuran sendiri.

Maka sekali lagi, Tuhan, melalui semesta yang menjelma dalam bentuk bermacam-macam peristiwa, orang-orang, dan lainnya senantiasa mengirimkan tanda-tanda cinta kasih dan sayang-Nya.

Akhirnya, saya memilih jalan yang Dia tunjukkan dengan mulai menerima apa yang sudah terjadi dengan sepenuh hati. Alhamdulilah, saya kini mampu berdamai dengan setiap masa lalu saya, betapa pun buruknya itu di mata manusia.

Maka, keempat fase itulah yang telah menjadi "alat" saya dalam menyikapi serta menjalani kehidupan pasca perceraian orangtua. Mungkin Anda akan berpikir mengapa saya, bila hanya sekadar ingin menyembuhkan bayangan buruk dari peristiwa perceraian orang tua tersebut, mengapa tidak langsung saja melakukan seperti pada fase usia dewasa?

Kenyataannya, hanya sedikit anak-anak di Indonesia khususnya, yang serta merta tumbuh menjadi bijaksana tanpa melalui proses berlikunya kehidupan. Apalagi untuk seorang anak korban perceraian yang tidak diberi pemahaman dengan tepat, serta tumbuh di lingkungan yang tidak mengarahkannya ke fase tersebut.

Juga, daripada saya melakukan beberapa hal pada 3 fase sebelumnya hanya untuk melarikan diri dari pengalaman traumatis tersebut, kini saya ubah niatan itu menjadi lebih tulus dalam menggunakan anugerah kehidupan dari Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, Tuhan tidak pernah menelantarkan seorang anak korban perceraian. Sama sekali tidak. Hanya saja, tinggal anak yang bersangkutan mau untuk menangkap setiap petunjuk-Nya dengan nurani.

Karena setiap peristiwa menjadi menakutkan dari cara kita menyikapi pengalaman tersebut. Maka, tidak ada satu pun cara yang lebih solutif selain dengan menghadapinya.

Izinkan saya ulangi karena ini sangat penting, Tidak ada satu pun cara yang lebih solutif untuk mengatasi rasa takut selain dengan menghadapinya. 

Siapa pun Anda yang mengalami peristiwa serupa, yaitu perceraian orangtua, untuk beberapa waktu jika menangis adalah jalan terbaik, maka menangislah. Lakukan juga apa pun Anda nilai baik. Apa saja.

Baik buruk dari pilihan Anda, Anda sendirilah yang bisa menentukan dan menanggung akibatnya. Karena pada faktanya, setiap orang memiliki standar kebaikan sendiri untuk hidupnya.

Tak kalah pentingnya, harap tidak salah mengerti. Bukan berarti sepanjang tulisan ini dibuat untuk menyetujui kasus perceraian. Namun, apalagi yang dapat kita lakukan jika pilihan tersebut sudah tidak bisa dihindari.

Jika kita memang mampu, sebisa mungkin kita harus mencegahnya. Jika tidak, kita tidak punya pilihan lain selain menghormati keputusan pihak yang memutuskan untuk bercerai dan melindungi pihak yang menjadi korbannya, dalam hal ini anak-anak mereka. Masalah hati, tidak seorang pun bisa memaksakan apa yang menjadi pilihannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun