Adalah A nas Nin, seorang penulis berkebangsaan Kuba, pernah mengatakan,
"Kita menulis (sejatinya) untuk merasakan kehidupan dua kali, (yakni) pada saat itu (kita menulis), dan ketika kita mengingatnya di dalam tulisan kita (setelah menulis)."
Melahirkan Perubahan
Entah disadari atau tidak, setiap harinya kita, dan semua orang tak terlepas dari kegiatan menulis.
Seseorang akan mengirimkan pesan kepada pasangan, rekan, keluarga, atasan, bawahan dan yang lainnya melalui aplikasi pengirim pesan tertentu, yang kesemua pesan tersebut terdiri dari huruf demi huruf, untuk kemudian berubah menjadi kalimat yang membentuk suatu makna. Singkatnya, kita semua telah dan akan terus menulis pesan.
Bahkan lebih jauh, kita tidak hanya menulis untuk meyampaikan pesan-pesan yang ada di dalam isi kepala kita untuk bisa dipahami oleh seseorang, melainkan saban hari kita juga bermaksud menyampaikan perasaan (isi hati) kita kepada diary (buku harian), blog atau pun kepada orang lain.
Pasalnya, melalui tulisan, kita mampu mengekspresikan pemikiran kita ke dalam ruang yang kita telah peroleh dengan kegiatan menulis.
Di dalam ruang tersebut, selain untuk meluapkan pikiran, kita juga bisa menumpahkan setiap harapan maupun ketakutan-ketakutan yang membayangi hidup kita.
Maka, menulis juga berarti kita menciptakan ruang tersendiri, tempat di mana kita dapat dengan leluasa menjadi diri kita sendiri, tanpa intervensi dan halangan dari pihak manapun.
Selanjutnya, di dalam ruang tersebut, kita akan berhadapan langsung dengan luka dan kekecewaan yang pernah menimpa hidup kita.
Karena menulis itu layaknya kita sedang menatap langsung berbagai pengalaman hidup seperti; derita, rasa sakit, dan kekecewaan yang pernah kita alami semasa hidup. Dengan kata lain, kegiatan ini memiliki dampak menyembuhkan.
Hal tersebut tidak lain karena pada saat kita menulis berarti kita telah membangun jarak dan perasaan maupun emosi kita. Jarak inilah yang pada akhirnya menjadi penyebab kesembuhan.
Hanya jika kita menulis dengan jujur, maka proses penyembuhan ini akan berhasil, yang ditandai dengan berubahnya perasaan batin kita ke kondisi menjadi lega.
Sekarang mari kita bayangkan apabila perubahan batin berkat menulis ini dialami oleh khalayak ramai, maka kita bisa dengan yakin bahwa perubahan sosial secara alamiah juga akan segera tercipta.
Karena menulis, dalam hal konteks perubahan sosial, berarti seseorang sedang berupaya mengungkap kebenaran.Â
Oleh sebab itu, dalam hal ini kegiatan tersebut juga berarti seseorang berani untuk bersikap kritis dalam menanggapi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat.
Sementara itu, di dalam ranah politik menulis pun dapat memicu terjadinya perubahan besar, contohnya revolusi atau pun reformasi radikal.
Untuk dampak yang bisa kita saksikan lebih luas, menulis juga mampu melahiran gerakan pencerahan (enlinghtenment) yang telah menyebarkan inspirasi ke seluruh penjuru dunia.
Begitu banyak contoh yang bisa kita lihat atas hal tersebut, dimulai dari reformasi Gereja di Eropa, revolusi Prancis, sampai dengan fenomena musim semi Arab di Timur Tengah yang masih penuh ketegangan sampai saat ini.
Sejauh ini, bisa dikatakan bahwasannya menulis merupakan salah satu syarat bagi lahirnya "yang politis" (das Politische) itu sendiri.
Lalu Apa?
Meskipun begitu, kita juga tidak bisa sembarang menulis. Tulisan yang hanya sekadar ditulis tanpa mengindahkan hal-hal yang sudah kita bahas di atas, kiranya tidak akan banyak membawa manfaat bagi kehidupan kita maupun orang lain.
Jadi, di dalam menulis, prinsip yang harus kita genggam, yakni bahwa kita menulis juga untuk dinikmati semua orang. Bahkan, akan lebih bagus jika anak kecil pun tanpa kesulitan berarti dapat memahami tulisan kita.
Sementara itu, untuk kaidah yang lebih bersifat teknis, di dalam kegiatan menulis, kita juga butuh untuk menggunakan kalimat secara efektif.
Kalimat efektif ialah kalimat-kalimat pendek tertentu, yang dengannya kita menghilangkan atau menjauhi berbagai penggunaan kata serapan yang tidak diperlukan.
Dengan menggunakan  kalimat-kalimat efektif tersebut, maka pandangan lama segera terpatahkan, sedangkan pandangan baru bisa kita tawarkan.
Hal ini pada gilirannya membuka mata kita semua, sekaligus membebaskan kita dari salah pemahaman.
Hal penting lainnya yang juga patut untuk kita perhatikan adalah, kita harus mampu melepaskan "keinginan berlebihan" untuk menulis. Maksudnya, kita amat perlu membiarkan ide dan kosakata yang tersimpan di kepala kita mengalir dan menggerakkan tangan kita saat menulis.
Inilah yang disebut dengan kebijaksanaan Wu Wei; sebuah budaya yang pernah berkembang pada masa Kedinastian Cina.
Adapun istilah Wu Wei biasa diterjemahkan sebagai "usaha tanpa usaha", yang juga berarti spontanitas.
Ini merupakan suatu kondisi batin, yang mana meredanya ego pribadi untuk membiarkan alam yang bekerja melalui tubuh manusia.
Dan ini pula merupakan "usaha yang melepas segala jenis usaha" (effortless effort), untuk mengubah batin kita menjadi alamiah sepenuhnya.
Hanya dengan kesadaran seperti ini, menulis berarti tidak hanya mampu menyembuhkan, tetapi juga suatu usaha menciptakan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H