Faktanya, masalah serius lainnya yang sudah menanti seseorang di luar majelis tak patut untuk diabaikan sama sekali. Detik ini juga orang bisa dengan yakin dan teguh dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan perspektif agama yang sudah disampaikan oleh pemuka agamanya.
Namun di detik berikutnya, siapa yang bisa menjamin orang tidak akan memilih jalan yang salah karena masalah sulitnya berkompromi dengan perut keroncongan?
Mirisnya lagi, masyarakat kita saat ini terkesan tengah mengalami krisis identitas sehingga siapa pun tokoh maupun paham-paham baru yang muncul, bisa mereka terima dengan senang hati sembari berharap datangnya "harapan baru."
Jati diri sebagai bangsa saat ini terancam semakin terkikis seiring memudarnya nilai-nilai gotong-royong dan semangat ukhuwah (solidaritas antar pemeluk agama) yang semakin melemah.
Suatu waktu orang mulai tidak puas dengan kehidupannya lalu mencari pelarian dan suatu kebanggaan dari sejarah bangsanya. Namun, antusias itu tak berlangsung lama karena melihat kenyataan dari pemimpin dan masyarakatnya yang saling bertikai demi membela ego masing-masing.
Kemudian, orang semakin tidak puas dengan kehidupannya lalu mencari petunjuk dan suatu kebanggaan dari kebesaran sejarah agamanya. Namun, perasaan bangga itu hanya bertahan sesaat karena melihat perilaku pemeluknya yang kian bertolak belakang dari pesan-pesan agama.Â
Hingga pada akhirnya orang benar-benar kehilangan identitas diri dan bangsanya sendiri, sehingga apatisme menjadi satu-satunya jalan yang dianggap paling rasional.
Maka tak heran jika apa pun dari secuil narasi yang diangkat dunia internasional selagi menyangkut sebuah negara bernama Indonesia, seolah berita itu selama-lamanya harus diwartakan.
Demikian halnya yang terjadi pada romantisme sejarah agama. Orang seakan menolak kenyataan bahwa agamanya itu sudah kehilangan marwah di hadapan peradaban lain.Â
Dalam hal kontribusi nyata pemuka agama dalam membangkitkan kembali, semangat, harapan, dan kepercayaan diri para jamaahnya, tak perlu terlalu muluk-muluk untuk memulai.
Dari segi ekonomis misalnya, jika dari 100 para pemuka saja agama yang ada di Indonesia mau menyisihkan uang sekecil-kecilnya Rp100.000 untuk disedekahkan setiap hari, maka terkumpulah uang itu menjadi Rp10.000.000.