Sadarkah kita bahwa jumlah pendakwah atau pun pemuka agama seperti ustadz, pastor, pendeta, dan lainnya di Indonesia semakin hari terus bertambah.
Banyaknya jumlah tersebut tentu saja belum mencakup beberapa nama-nama baru yang mulai dikenal lewat platform media sosial, tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan, serta tidak pernah mengambil konsentrasi di bidang dakwah secara khusus.
Itu pun belum termasuk yang banyak "numpang nama" dan lahir di beberapa jejaring sosial tersebut. Dan belum termasuk mereka yang memang tidak pernah terekspos oleh media.
Tentu saja itu merupakan hal yang baik, terlebih jika memang apa yang disampaikan tersebut juga mampu mengajak orang lain melakukan kebaikan. Akan tetapi, apakah dampak tersebut memiliki manfaat langsung bagi para jamaah secara luas?
Sayangnya harus dikatakan bahwa kuantitas para pemuka agama ini tidak berbanding lurus dengan manfaat langsung yang diperoleh para jamaah. Jamaah dalam hal ini tentu saja adalah masyarakat luas. Malahan, sosok-sosok baru terus bermunculan dengan ajaran barunya menurut versinya masing-masing.
Bukannya memberikan solusi terhadap dahaga para pendengarnya, yang terjadi justru orang semakin dijejali kebingungan-kebingungan yang baru.
Sebagaimana kita ketahui bahwa para pemuka agama merupakan orang yang telah mewakafkan dirinya untuk mengabdi langsung kepada Tuhan secara bulat-bulat.
Begitu mulianya profesi seorang wakil Tuhan ini sehingga menurut kepercayan Islam, mereka adalah salah satu barisan yang pertama kali dihisab di hari kemudian. Maka sepatutnya, keistimewaan ini betul-betul bisa dimanfaatkan dengan optimal selagi hidup di dunia.
Kepandaian retorika dan wawasan mereka yang luas saat ditunjukkan di atas mimbar-mimbar rumah ibadah jelas sangat kita butuhkan guna terus memupuk keimanan yang keadaannya selalu fluktuatif.
Namun, hanya sebatas itukah peran dan kontribusi pemuka agama sehingga berlepas diri setelah keluar majelis serta menganggap "tugas ceramah sudah selesai?"