Lindap
Semerbak harum bunga telah gugur pada muka kakimu; layu mereka.
Lindap;
menghilang perlahan
melebur bersama debu, bersama cahaya, bersama kenangan yang ingin benar-benar dilupa.
Pagi menjelma rumah duka; di mana harapan telah hilang
padahal harusnya adalah mekar bunga, wangi embun, dan guratan cahaya yang pulang;
tapi hanya kepatahan yang kutemukan pada wajah langit. merapal wajahmu yang lindap digerus waktu.
Dari palung yang manakah bisikan itu datang; dahulu kala, ketika kita bukanlah siapa-siapa. Dari palung yang manakah ingin itu tumbuh; awal mula, ketika kita saling meraba ingin tahu. Tentang arti jumpa, rasa (yang tumbuh), lalu ingin saling menjaga.
yang pada akhirnya;
kita dibawa pada hilir paling rendah dari sebuah kisah cinta; perpisahan.
Bahkan kita lindap sebelum sempat benar-benar mekar dalam kebersamaan.
Pintu itu masih selalu kuketuk; rapat terkunci
padahal ruang di dalamnya adalah milikku.
Aku terusir, terbuang jauh dari sana
sebab cahaya di dalamnya mulai lindap; kau kata aku tak mampu menjaganya.
padahal kau tahu;
aku hampir mati menahan duka-lara atas cahaya yang kujaga. engkau lindap dalam mencinta;
pulang pada peluk yang lain
di ruang itu, yang pintunya kini masih kuketuk jua.
Aku yang akhirnya pergi atas ketidakmampuanmu; diriku lindap dan mati dari dadamu.
Lindap;
pi ini redup perlahan. meninggalkan remang-remang:
sisa cahaya, dan sambutan sang gelap.
Lindap;
cinta ini samar kurasakan.
pada dadamu yang semakin hilang aku;
sisa kenangan, dan sambutmu yang ingin aku tiada dan terlupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI