Dia masih menangisi kekasihnya yang pergi, terdiam, membisu dengan sesegukan yang sesekali merebut hening. Makam yang masih basah itu terasa semakin membuat berat bebannya, karena ada hati yang terkubur di dalam bersama hatinya.
Dia masih menangis sembari mengenang kenangan lama, yang mana cintanya dapat tumbuh bagai bunga pada musim semi yang tak pernah bertemu musim gugur.
Cintanya hidup sejahtera kala itu, dulu, jauh pada ruang kenangan yang merebut pikirannya.Â
Cintanya pernah berkata; Aku akan menjadi angin yang terus memberikanmu kesejukan, pun nanti setelah kumati.
Air matanya meleleh semakin jadi.
Aku akan menjadi cahaya mentari pagi yang bersinar hangat dan tak menyengatmu, cukup untuk mengenyahkan dingin yang kau derita di setiap fajarmu.
Aku akan menjadi nyanyian alam yang dikumandangkan daun-daun yang bergemerisik untuk menghiburmu.
Aku akan menjadi bintang ataupun bulan untuk langit malammu yang kelam.
Dan, aku akan mencintaimu setelah kematianku karena aku pun telah mencintaimu sebelum kelahiranku dan bahkan jauh sebelumnya.
Dia teringat semua kata-kata kekasihnya itu, terngiang jelas di dalam pendengarannya. Suara parau lembut yang merdu dan tatapan mata teduh yang menenangkan dari kekasihnya, kini bersemayam pada ruang hatinya, pada kamar kenangan paling dalam.