Sebagai gambaran, biji kakao tanpa fermentasi hanya seharga Rp 20.000 per kg, sedangkan biji kakao fermentasi bisa mencapai Rp 23.000–Rp 25.000 per kg. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pengembangan industri pengolahan kakao terus bermunculan di Sulsel.
Selain pabrik milik KUB Sibali Resoe di Luwu Utara, muncul pula pabrik-pabrik pengolahan kakao di tiga kabupaten atau kota lainnya, yakni Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, dan Kota Palopo. Empat wilayah tersebut biasa disebut Tanah Luwu.
Di Sulsel, produksi terbesar kakao berasal dari tanah Luwu. Keempat pabrik tersebut pernah memperoleh bantuan dari Pemprov Sulsel, masing-masing senilai Rp 1 miliar. Bantuan tersebut mereka pakai untuk membeli mesin pengolahan kakao . Belakangan, hanya satu pabrik yang beroperasi secara normal, yakni milik Rudi. Tiga pabrik cokelat lain berjalan ala kadarnya.
KUB Agung Madani Syariah di Kota Palopo, misalnya, kini hanya memproduksi cokelat kurang dari 500 kg per bulan. Awalnya, pabrik ini mampu memproduksi cokelat batangan dan cokelat bubuk seberat 1 ton per bulan. Ada beberapa kendala menghadang. Kendala itu antara lain terbatasnya jaringan pemasaran, permodalan, dan teknologi.
Di pasaran, cokelat batangan hasil garapan industri kecil jelas kalah bersaing dengan produk-produk cokelat yang sudah tenar yang menghiasi gerai-gerai pasar modern. Untuk menyiasatinya, KUB Sibali Resoe kerap menggelar promosi dari satu acara ke acara lain, baik di Sulawesi maupun di Jawa. Pelaku industri kakao juga masuk ke sentra oleh-oleh khas Makassar agar semakin dikenal masyarakat. Pemasaran bukanlah satu-satunya hambatan.
Muhammad Sahaka, pemimpin KUB Agung Madani Syariah, menjelaskan, pabrik yang dia kelola masih memakai mesin yang serba terbatas. Mesin-mesin ini didatangkan dari Bogor, Jawa Barat. Untuk menggiling biji cokelat menjadi bubuk cokelat, misalnya, tingkat kehalusannya belum maksimal. “Makanya kami masih menggunakan tenaga manusia untuk menghaluskan bubuk cokelat,” tutur lelaki yang tahun ini genap berumur 50 tahun ini.
Hambatan lain adalah soal legalitas produk, seperti izin Depkes dan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Konsumen saat ini sudah melek produk konsumsi sehingga legalitas adalah hal mutlak dalam bisnis makanan. Soal legalitas, Rudi pernah delapan kali bolak-balik Makassar–Jakarta hanya untuk mendapatkan izin produk dalam negeri (MD) dari BPOM RI.
Untuk menghidupi industri pengolahan kakao memang butuh modal kuat. Rudi mengaku hingga September 2010 sudah merogoh kocek lebih dari ?Rp 500 juta. Duit tersebut dia pakai untuk membiayai pembangunan pabrik, pengolahan produk, hingga memperkuat jaringan pemasaran. Hasil yang dia dapat dari menjual cokelat batangan dan bubuk belum sebanding dengan dana yang dikeluarkan selama ini.
Tapi, pelaku industri ini tidak patah arang. KUB Sibali Resoe dan KUB Agung Madani Syariah bertekad melanjutkan proyeknya hingga sukses. Kabar terakhir menyebutkan, sejumlah investor dari China dan India menyambangi dua KUB tersebut.
Mereka ingin turut menanam modal. Sahaka mengemukakan, pada akhir Agustus 2010, pengurus KUB Agung Madani bertemu dengan investor China dan India untuk membahas agenda kerjasama tersebut. Investor berniat membeli bubuk cokelat hasil olahan Agung Madani.
Tapi, negosiasi ini belum rampung. Sebab, investor ingin melabeli produk cokelat Agung Madani sebagai produk mereka. Sebaliknya, “Kami ingin produk cokelat itu tetap menggunakan label sendiri,” ucap Sahaka.