Kesuksesan sapiens dalam mengungguli evolusi adalah sebuah cerita yang patut dibanggakan. Pasalnya, perjuangan hebat sapiens yang dimulai ribuan tahun telah membuahkan hasil memuaskan. Boleh dikatakan sapiens telah menjadi "tuhan" yang mampu menentukan arah perjalanan bumi sesuai kebutuhan dan keinginan kita.Â
Sapiens telah mampu mengendalikan segala sesuatu yang bisa dikendalikan. Gambaran yang bisa kita miliki saat ini adalah bahwa manusia benar-benar menikmati kesuksesannya dalam sejarah. Namun, cerita kesuksesan sapiens adalah sebuah single story. Sejatinya kesuksesan yang dicapai sapiens hanyalah cerita yang dibanggakan sapiens.Â
Cerita yang hanya menampilkan sisi kesuksesan tetapi meningalkan banyak luka dan sejarah kelam yang mungkin bisa kita elakkan tapi nyata terjadi. Sebab, nyatanya setiap kisah penemuan baru yang menghantar sapiens ke puncak kemakmuran, kepunahan dan kerusakan alam selalu menjadi ending setiap episode. Akhir cerita ini tak diceritakan melainkan dilesapkan seolah tak pernah terjadi dan bukan kita yang melakukannya. Â Â
Sejenak kita mungkin bisa melupakan kisah masa lalu. Lagi pula apa salahnya kita melakukan itu? Bukankah alam bekerja demikian? Bukankah semua spesies juga melakukan hal yang sama agar tetap bertahan hidup? Kita mungkin berpikir demikian dan ini tidak salah. Namun, perlu diketahui bahwa yang kita lakukan berbeda. Kita telah melangkah jauh dari keseimbangan ekologis. Kita tak melakukan apa yang sejatinya alam dan ekosistem lakukan.
Demi memuaskan hasrat terliar, kita telah menciptakan peradaban sendiri yang merusak keseimbangan ekologis. Menguntungkan sapiens tapi merugikan alam. Dan, jikalau hasrat terliar kita terus dibiarkan, maka dampak ekologis tak terhindarkan. Menariknya, semakin kita meningkatkan kemajuan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis semakin dalam sapiens menggali lubang kuburnya sendiri. Sebab, bagaimanapun kita bergerak dengan segala macam kemajuan yang kita lakukan, fakta bahwa kita akan tetap tinggal menetap di bumi ini dalam waktu yang lama adalah sebuah keniscayaan. Ingat, untuk tetap bertahan hidup dalam era-era mendatang kita membutuhkan lingkungan yang tentunya mendukung kita untuk bertahan hidup.Â
Kenyataan yang terjadi di lapangan justru semakin buruk. Perubahan iklim diiringi perubahan cuaca ekstrem yang tak menentu menjadi rambu-rambu yang jelas bahwa kemajuan pembangunan manusia sedang menuju arah kurang sehat. Pembangunan yang tak berkelanjutan dengan tidak mempertimbangkan dampak lingkungan akan semakin memperburuk situasi. Efeknya, bencana akan datang lebih awal. Tak lagi terjadi di masa depan saja.Â
Dengan meningkatnya pembangunan diikuti dengan perusakan hutan serta ekosistem yang signifikan, bencana sedang menintai kita. Sebagian tak dapat diprediksi dan akan menyerang secara tiba-tiba dan dalam waktu dekat akan bermunculan. Peningkatan suhu global, pandemi COVID-19, wabah tikus di Australia, banjir dan bencana tanah longsor di beberapa daerah di Indonesia dan negara-negara lainnya menjadi contoh nyata bahwa rumah kita ini sedang tidak sehat.
Fenomena-fenomena langkah dan aneh yang terjadi selama ini setidaknya menjadi sirene bagi kita untuk mulai duduk bersama mencari solusi. Setiap negara melalui para pemimpinnya diharapkan untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Mengambil langkah yang sama adalah jawaban yang dibutuhkan karena ini adalah masalah global yang sejatinya tak bisa diselesaikan hanya bermodalkan semangat nasionalisme. Mendiskusikannya secara global akan memperjelas arah dan tindakan bersama yang mesti dilakukan.Â
Tujuannya agar semua negara mengambil tindakan yang sama dalam mereduksi setiap pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan. Sekali lagi ini adalah masalah global karena kita hidup di satu rumah yang sama yaitu bumi. Setiap tindakan yang dilakukan di belahan dunia mana pun akan berdampak bagi yang lain. Tanpa disadari, pembakaran lahan di hutan tropis kalimantan akan  mengakibatkan banjir rob di Belanda yang berjarak ribuan kilometer.
Peningkatan suhu global yang diikuti oleh perubahan cuaca yang ekstrem telah menjadi rambu yang menuntut kita untuk waspada. Ini tentunya juga menyarankan kita untuk mulai memikirkan masa depan yang harus kita pilih. Keputusan kita dalam memulai pembangunan kiranya didasarkan pada pertimbangan matang yang juga memasukan dampak ekologis sebagai syarat dilanjutkannya pembangunan. Pertimbangan diarahkan agar bumi tercinta masih layak untuk dihuni bagi generasi mendatang.
Keraguan yang bisa kita jadikan pertanyaan adalah perlukah kita peduli tentang masa depan? Perlukah kita memikirkan masa depan anak cucu kita? Mengapa kita harus merawat bumi untuk masa yang akan datang jikalau nyatanya kita tak hidup selama itu? Pertanyaan seperti ini akan muncul jikalau kita menempatkan diri sebagai generasi egois yang tenggelam dalam mental memperkaya diri. Maka yang kita perlu lakukan adalah mengondisikan dunia sebagai tempat yang layak untuk dihuni saat ini.
Beruntungnya secara kolektif kita tak sepenuhnya egois. Dari sekian banyak populasi manusia yang mendiami bumi setidaknya masih banyak orang yang mempertahankan naluri dasar manusia sebagai hewan mamalia. Dalam darah kita masih mengalir ciri mamalia, naluri yang mampu mendekatkan seorang anak dengan orang tuanya.
 Iya, ciri mamalia yang masih melekat dalam diri manusia membuat sebagian besar orang masih peduli tentang masa depan bumi yang akan ditempati anak cucu mereka. Dasar inilah yang mendorong komunitas peduli sampah, UNESCO, dan aktivis lingkungan untuk mengumandangkan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan isu lingkungan sebagai salah satu faktor yang mesti diperhatikan.
Alih-alih menjadi semakin sadar akan bahaya yang akan menghadang, realitas dunia justru berjalan ke arah sebaliknya. Disinyalir karena keputusasaan dan miskepercayaan terhadap kisah liberal, beberapa negara mulai memutuskan untuk menutup diri terhadap visi global. Belajar dari Brexit dan slogan Make America Great Again, kita seyogianya menyadari bahwa dunia sedang berjalan menuju pengotakan. Inggris dan Amerika menampilkan dirinya sebagai yang pertama meragukan kisah liberal. Di jantung kota liberal lahir, justru kisah liberal mulai diragukan. Â
Sejatinya mereka tidak sepenuhnya melepaskan diri dari sistem liberal, hanya saja mereka tak lagi mempercayai globalisasi. Menjadikan dunia sebagai Global Village, dirasa kurang efektif. Nampak terutama dengan hadirnya sistem ekonomi liberal yang mengedepankan pasar bebas dengan berbagai kemudahan yang tak memberatkan.Â
Menggeloranya pasar bebas, bukan mencemaskan mereka akan hadirnya eksploitasi melainkan takut pada arah perkembangan dunia yang semakin menuju irelevansi. Ketakutan ini mencuat ke permukaan dilatarbelakangi oleh perkembangan AI yang semakin mendominasi. Dimimpikan bahwa di masa yang akan datang manusia tak lagi dibutuhkan dan digantikan oleh teknologi.Â
Mimpi buruk inilah yang menjadikan Inggris dan Amerika merasa perlu menjadi yang pertama untuk mulai was-was. Menutup diri dengan tujuan agar memperlambat maju perkembangan dunia dirasa efektif. Negara-negara dengan kekuatan politik besar mengisolasikan diri dan mencoba untuk tak mencampuri visi global.
Tak hanya Inggris dan Amerika, banyak negara juga melai menutup diri. Ini didorong oleh kenangan kejayaan masa lalu yang mereka miliki seolah-olah mereka dapat menghadirkan kembali kehidupan dalam kejayaan masa lalu. Tanpa menyadari mereka sedang hidup dalam realitas dunia yang sepenuhnya berbeda.
Harapannya, semangat pengisolasian ini tak menjadikan banyak negara untuk menutup mata dan enggan membuka diri terhadap isu global seperti pemanasan global yang semakin parah. Ini tentunya menjadi doa kita bersama agar semua negara menyadari bahaya yang ada di depan mata. Semuanya diharapkan untuk tidak terjebak dalam emosi egois yang berlebihan. Mengimbangkannya dengan menempatkan diri sebagai mamalia kiranya juga diperhatikan. Ini semua dilakukan agar kita tetap mencetak sejarah sebagai spesies paling sukses dalam mendominasi bumi. Juga, dengan melakukan tindakan yang lebih peduli terhadap lingkungan setidaknya kita bisa menebus kesalahan yang kita lakukan terhadap bumi dan ekosistem selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H