Beruntungnya secara kolektif kita tak sepenuhnya egois. Dari sekian banyak populasi manusia yang mendiami bumi setidaknya masih banyak orang yang mempertahankan naluri dasar manusia sebagai hewan mamalia. Dalam darah kita masih mengalir ciri mamalia, naluri yang mampu mendekatkan seorang anak dengan orang tuanya.
 Iya, ciri mamalia yang masih melekat dalam diri manusia membuat sebagian besar orang masih peduli tentang masa depan bumi yang akan ditempati anak cucu mereka. Dasar inilah yang mendorong komunitas peduli sampah, UNESCO, dan aktivis lingkungan untuk mengumandangkan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan isu lingkungan sebagai salah satu faktor yang mesti diperhatikan.
Alih-alih menjadi semakin sadar akan bahaya yang akan menghadang, realitas dunia justru berjalan ke arah sebaliknya. Disinyalir karena keputusasaan dan miskepercayaan terhadap kisah liberal, beberapa negara mulai memutuskan untuk menutup diri terhadap visi global. Belajar dari Brexit dan slogan Make America Great Again, kita seyogianya menyadari bahwa dunia sedang berjalan menuju pengotakan. Inggris dan Amerika menampilkan dirinya sebagai yang pertama meragukan kisah liberal. Di jantung kota liberal lahir, justru kisah liberal mulai diragukan. Â
Sejatinya mereka tidak sepenuhnya melepaskan diri dari sistem liberal, hanya saja mereka tak lagi mempercayai globalisasi. Menjadikan dunia sebagai Global Village, dirasa kurang efektif. Nampak terutama dengan hadirnya sistem ekonomi liberal yang mengedepankan pasar bebas dengan berbagai kemudahan yang tak memberatkan.Â
Menggeloranya pasar bebas, bukan mencemaskan mereka akan hadirnya eksploitasi melainkan takut pada arah perkembangan dunia yang semakin menuju irelevansi. Ketakutan ini mencuat ke permukaan dilatarbelakangi oleh perkembangan AI yang semakin mendominasi. Dimimpikan bahwa di masa yang akan datang manusia tak lagi dibutuhkan dan digantikan oleh teknologi.Â
Mimpi buruk inilah yang menjadikan Inggris dan Amerika merasa perlu menjadi yang pertama untuk mulai was-was. Menutup diri dengan tujuan agar memperlambat maju perkembangan dunia dirasa efektif. Negara-negara dengan kekuatan politik besar mengisolasikan diri dan mencoba untuk tak mencampuri visi global.
Tak hanya Inggris dan Amerika, banyak negara juga melai menutup diri. Ini didorong oleh kenangan kejayaan masa lalu yang mereka miliki seolah-olah mereka dapat menghadirkan kembali kehidupan dalam kejayaan masa lalu. Tanpa menyadari mereka sedang hidup dalam realitas dunia yang sepenuhnya berbeda.
Harapannya, semangat pengisolasian ini tak menjadikan banyak negara untuk menutup mata dan enggan membuka diri terhadap isu global seperti pemanasan global yang semakin parah. Ini tentunya menjadi doa kita bersama agar semua negara menyadari bahaya yang ada di depan mata. Semuanya diharapkan untuk tidak terjebak dalam emosi egois yang berlebihan. Mengimbangkannya dengan menempatkan diri sebagai mamalia kiranya juga diperhatikan. Ini semua dilakukan agar kita tetap mencetak sejarah sebagai spesies paling sukses dalam mendominasi bumi. Juga, dengan melakukan tindakan yang lebih peduli terhadap lingkungan setidaknya kita bisa menebus kesalahan yang kita lakukan terhadap bumi dan ekosistem selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H