Atau, kalaupun konteksnya membaca secara harfiah, ada metodenya.
Balon, misalnya. Tulis saja kata balon itu di kertas, atau papan tulis. Walau anak belum mengerti alfabet. Lalu orang tua ajarkan cara mengucapkannya sambil menekan huruf depannya. B-A-L-O-N. Beh, beh, beh, fokuskan pada huruf B.
Atau Cicak. Ceh, ceh, ceh, tekankan huruf C sambil menuliskan kata cicak di kertas atau papan.
Kyori, anak saya yang usia 5 tahun, dia tunjuk televisi sambil bilang, "Peh, masterchef, Peh!" Saya heran, "Kok adek tau?" Kyori jawab lagi, "Itu ada tulisannya kan." Dia belum tahu alfabet, tapi tahu logo masterchef yang khas di pojok kanan bawah sebelum acara dimulai. Waktu itu masih acara Indonesian Idol, dan ada hitung mundur bahwa acara Masterchef akan dimulai sepuluh menit lagi. Dalam konteks ini, Kyori sudah "bisa" membaca.
Tantangan ketiga adalah kompetensi. Ada empat kompetensi yang diperlukan di abad ke-21, yaitu:
1. komunikasi;
2. kolaborasi;
3. kreatif; dan
4. kritis dalam berpikir.
Dan itu menjadi tantangan khusus untuk mengajarkannya di masa pandemi ini. Bagi anak usia dini, pengajaran yang efektif adalah lewat cara langsung. Offline. Akan lebih sulit melakukannya lewat daring. Bisa, tapi tidak seefektif offline. Pada akhirnya guru dan orang tua harus saling memahami, dan menurunkan standar atau ekspektasi. Bahwa keadaan sekarang adalah anomali, yang harus dihadapi bersama-sama. Kolaborasi.
Semua tantangan di atas harus dijawab sekolah atau lembaga pendidikan lewat improvisasi metode pengajaran. Dan juga harus dijawab oleh para orang tua, lewat peningkatan kemampuan pedagogi.
Tampaknya empat kompetensi di abad 21 itu menjadi tantangan berat juga untuk Sururi, yang sekarang menjabat Kepala Sekolah di Sekolah Alam Bandung.
Di SAB, yang kesehariannya belajar dari alam, belajar di alam terbuka, yang biasanya anak bisa bebas berlarian, berkotor ria main tanah, sekarang harus improvisasi metodenya lewat daring. Itu sulit sekali.
Sebenarnya, ada Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) yang bisa dipelajari sendiri, karena sudah dituangkan dalam Permendikbud No.137 tahun 2014 mengenai Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Cukup tebal, 76 halaman.
Memang masih banyak pekerjaan rumah buat kita, para orang tua. Apalagi menjadi orang tua tidak ada sekolahannya. Semua merasa bisa, dengan rujukan apa yang diajarkan zaman dahulu oleh orang tua kita. Masih relevan? Ya dan tidak. Perlu pengembangan? Jelas, karena zamannya sudah berbeda.