Prosesnya meneliti rendang, membawanya ke tempat kerja baru, yaitu menjadi CEO restoran dengan karyawan 750 orang di berbagai cabang. Namun di sana tidak sampai lima tahun. Masukan-masukannya kepada owner, tempatnya mengadu segala urusan restoran, dirasa ada saja tidak pasnya.
Merasa itu bukan "kandang" miliknya, ia memutuskan membangun "kandang" sendiri. Berdirilah Rendang Katuju tahun 2017.
Tiga tahun usahanya sudah berjalan, sekarang Ade baru merasakan susah senangnya menjadi brand owner.
"Dulu waktu saya jadi CEO, kalau mau mengadu masih ada owner. Sekarang jadi owner mau mengadu ke mana lagi? Allah aja tinggal tempat mengadu," jelasnya.
Katuju itu dalam bahasa Minang maknanya suka, gemar, doyan. Kalau kita pakai dalam kalimat, bisa seperti ini.
"Onde, katuju bana samba iko di ambo." Artinya, "Wah, gua doyan banget sama menu ini."
Atau, "Katuju bana bantuak baju ko di awak." Artinya, "Suka banget saya dengan desain baju ini."
Nama tersebut juga merupakan harapan, supaya rendangnya disukai semua kalangan. Walaupun bicara rendang, beda wilayah, beda rasa, beda selera.
Rendang Payakumbuh akan mempunyai rasa yang berbeda dengan Rendang Solok. Pun begitu dengan Rendang Pariaman, Batusangkar, dan Pesisir Selatan. Kelapa yang tumbuh di wilayah berbeda tersebut, akan menghasilkan rasa olahan santan yang bervariasi, sehingga rendang sebagai produk dari wilayah-wilayah tersebut juga rasanya tidak sama.
Bagi orang Batusangkar, rendang di sanalah yang terenak. Tapi tentu beda komentar kata orang Payakumbuh.
Buat saya, rendang terbaik adalah buatan ibu saya. Asal Payakumbuh. Lidah ini sudah terbiasa melahapnya sejak kecil. Jadi secara subjektif, tentu rendang itu yang terbaik.