Saya mulai baca buku sejak... SD kayaknya. Yang masih zamannya 'Ini Ibu Budi'. Yang tulisannya besar-besar dalam satu halaman. Yang gambarnya lebih besar lagi, menghabiskan tiga perempat halaman buku.Â
Sebagai anak SD tahun 80an, mata saya sangat terpuaskan. Kita jadi enggak stres, karena bagian yang harus dibaca dalam satu halaman hanya satu baris. Ya itu tadi, 'Ini Ibu Budi'. Kadang 'Ibu Pergi ke Pasar'. Masih ibunya si Budi. Temannya Budi itu Wati. Entah ya mereka jadian atau tidak pada akhirnya, hanya pengarangnya yang tahu. Mestinya sih jadian ya, biar bikin baper gitu. Kalau enggak, bikin azab sekalian. Kayak sinetron di TV Ikan itu. Ikannya terbang. Ikan robot. Kayak bukan ikan.
Yang pasti sekarang nama Budi, Wati, pasti sudah jarang ada dalam buku pelajaran. Mungkin nama-nama yang terpampang seperti Melisa, Annisa, Carol. Itu nama pendeknya. Nama panjangnya Melisawati, Annisawati, Carolwati. Sama aja dong, ya?
Dan saya mulai koleksi buku yang berhasil dibeli dari kocek pribadi sejak... SD juga. Tepatnya komik. Kungfu Boy! Magicnya dahsyat itu komik, saya masih koleksi sampai sekarang! Dari si Chinminya cupu, ilmunya masih cetek... sampai sekarang sudah jadi legend.Â
Nama komiknya pun ditambah embel-embel Kungfu Boy Legend. Dari harga Rp 2.000, sampai sekarang Rp 22.000. Bedanya dulu belinya patungan sama kakak adik. Eh adik kayaknya jarang nyumbang. Dia sih boros, hehehe. Kalau saya rajin menabung, seperti si Budi dan Wati. Doktrin buku pelajaran bahasa Indonesianya berarti berhasil.
Di rumah pun saya akhirnya punya rak buku. Yang ternyata ukurannya masih terlalu kecil untuk menampung dua ratusan buku. Masih sedikit itu koleksinya. Jangan bandingkan dengan koleksi buku pak Habibie. Presiden RI ke-3. Perpustakaannya saja sebesar rumah saya. Atau mungkin lebih besar. Tapi ya lumayanlah. Yang penting itu buku di rak saya sudah berhasil dibaca semua.Â
Tahun ini saya berhasil membaca 23 buku. Hampir dua buku per bulan rata-ratanya. Dan saya lagi baca buku ke-24. Buku yang kisahnya sangat menyedihkan: buku rekening bank yang saldonya kok mirip biaya adminnya? Gimana gak teriris hati ini. Air mata meleleh tanpa perlu diperintah. Ingin rasanya mencabik-cabik itu buku. Tapi nanti saya dimarahi orang bank. Nanti aja dicabiknya, kalau bank sudah digantikan fintech.
Dan tahun ini saya menemukan buku yang aneh! Saya lihat penerbitnya. Mencari tahu siapa yang berani-beraninya menerbitkan buku model begini. Aneh parah. Â Masa bukanya dari kanan???
Warnanya hijau. Mirip uang dua puluh ribuan. Makanya saya comot itu buku. Soalnya mirip duit. Mestinya merah, biar lebih semangat saya comotnya. Hei penerbit, lain kali bikin bukunya merah ya. Ada foto Soekarno-Hattanya sekalian. Eh, ini bikin buku apa duit?
Selanjutnya saya baca novel itu sampai tuntas. Judulnya besar ditulis di bagian sampul: TUING! Penulisnya juga ditulis besar-besar di bagian paling atas: OKSAND.
Tanggung amat besarnya. Gak sekalian aja sebesar baligo.
Dipikir-pikir, kok nama penulisnya mirip juga dengan saya. Apa kami orang yang sama? Ah, mungkin kebetulan. Tapi di bagian bawah sampul tertulis: "Jika ada kesamaan tokoh, karakter, atau sifat... percayalah itu mungkin disengaja."
Jadi ini kebetulan yang disengaja?
Ah, buku yang aneh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H