Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjumpaan di Bis Jatinangor-Dipatiukur

7 Februari 2017   05:26 Diperbarui: 7 Februari 2017   05:34 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rino nampak menikmati pemandangan itu, karena dia sudah duduk dengan nyamannya di sisi kiri bis, formasi dua bangku, dekat jendela. Sengaja dia pilih di situ karena kalau di sisi kanan harus bersempit-sempitan dengan dua orang lainnya. Belum lagi di tengah bis kadang juga disediakan bangku panjang untuk mengakomodasi penumpang yang tidak kebagian duduk. Rino pilih duduk tiga bangku dari depan.

Cukup padat bis menuju Bandung itu. Semua bangku sudah terisi. Lorong tengah bis juga terisi dengan orang-orang yang berdiri. Di lorong depan ada dua bangku panjang yang dijajarkan, lumayan untuk menampung enam orang supaya dapat duduk. Bisa sih delapan orang, tapi setengah pantat saja, setengah lagi melayang di udara.

“Bandung… Bandung… terakhir… terakhir!” Aneh, kondektur masih saja menawarkan tempat, padahal di dalam sumpeknya bukan main. Jendela samping dibuka oleh rata-rata penumpang, angin segar pun masuk. Asap knalpot juga masuk. Bau badan sore hari, bau rokok di bangku belakang, turut menambah kancah aroma. Selamat datang di bis Damri!

“Ya permisi bapak supir dan kondektur, numpang jualan heula. Persib melakukan persiapan khusus melawan Persija! Halaman utama. Seorang mahasiswa berhasil membuat penemuan mobil hemat bahan bakar! Halaman tiga. Cerita-cerita tentang artis! Halaman belakang. Lima ribuan bapak ibu. Lima ribuan! Berhubung sudah sore saya korting jadi empat ribuan. Empat ribuan!” Suaranya nyaring menggelegar lorong bis. Cocok jadi orator.
Belum selesai berjualan, dari belakang terdengar suara petikan ukulele. Masih distem. Penjual koran tadi masih berusaha menembus padatnya lorong bis. Beragam bau badan sudah terakumulasi dengan sempurna di situ. Sayangnya aroma parfum mahasiswi kalah tajam dengan bau keringat penjual koran tadi. Alhasil, tiga menit penjajakan koran yang sukses. Sukses mengubah aroma ruangan lorong bis.

“Ya permisi pak supir, pak kondektur. Ijinkan kami, pengamen jalanan, menjual suara beberapa lagu.” Entah dimana posisi pengamen cilik tersebut, karena dia hilang di tengah lorong. Lorong yang penuh dengan penumpang berdiri. Yang terdengar hanya suara yang belum beger bersenandung nada minor yang kurang pas dengan kunci ukulelenya, “…daripada mencopet, lebih baik mengamen saja…”

Rino duduk memerhatikan keadaan di luar bis. Masih tampak beberapa orang dengan tatapan nanar memandang bis yang bergerak maju. Mereka pilih pulang dengan bis antarkota, atau angkot. Daripada berjejalan di bis terakhir ini. 

Duduk di sebelah Rino seorang mahasiswa. Di sebelahnya lagi juga mahasiswa, berdiri berpegangan pada rel yang menempel ke atap bis. Kalau ada mahasiswi, mungkin sudah diumpan lambung bangkunya Rino. Tapi dia bersyukur tidak ada mahasiswi. Hehe. Tidak ada percakapan basa basi antara Rino dan orang di sebelahnya. 

Macam-macam kegiatan untuk mengisi waktu dalam bis. Di sebelah Rino sedang baca buku teks. Suara kertas terdengar dibolak-balik. Sepertinya dia sedang menghubungkan rumus di halaman depan dan belakang. Pusing. Sore hari di ujung Jumat, masih sempat buka buku teks yang tebal. Rino sudah cukup pusing dengan mata kuliah statistik, yang dia tidak tahu isi mata kuliah tadi apa, selain sibuk berpikir cari jalan tercepat ke pangdam.

Di depannya seorang bapak sedang tidur. Kepalanya terantuk-antuk ke penumpang sebelah kanannya. Yang sebelah kanannya sibuk menghindar, akhirnya bahunya jadi korban sandaran kepala si bapak. Setelah jadi sandaran, dia coba condongkan badannya ke depan, dengan harapan kepala si bapak akan lepas. Maksudnya lepas dari bahu sandaran. Makin lama makin berat. Si bapak tidur pulas. Nyenyak. Kemana bahu pergi, di situ kepala si bapak mengikuti. Lain cerita kalau kepala mahasiswi yang bersandar. Tak usah kabur, malah menawari diri. Haha.

Di belakang Rino terdengar dua suara lantang berbicara politik. Kalau tidak lantang, kalah dengan deru bis Damri yang meraung cukup ganas. Sedangkan dua bangku di depan Rino, dua mahasiswi sibuk ketawa-ketiwi. Senda gurau begitu bahagia, entah apa yang dibahasnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun