Belakangan ini santer terdengar mengenai kartu kuning yang di berikan Ketua Bem UI, Zaadit Taqwa kepada Bapak Presiden Jokowi saat menghadiri Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia di Kampus UI, Depok, Jumat (2/2/2018).
Hal ini dilakukan karena sehari sebelumnya pihak Rektorat sudah menjanjikan akan memfasilitasi Bem UI untuk memberikan kajian namun tidak ada kejelasan. Berbagai komentar dari netizen menyerbu tindakan yang dilakukan Zaadit Taqwa, ada pro dan ada kontra. Tindakan tersebut dapat kita bagi kedalam 2 hal, yang pertama cara dia menyampaikan kritik dan yang kedua isi dari kritik tersebut.
Kita akan membahas hal yang pertama mengenai cara dia menyampaikan kritik. Sebenarnya, tidak ada yang masalah dengan aksi kartu kuning yang diberikan Ketua Bem UI tersebut karena dia hanya memberikan kartu kuning dan ini bukanlah sebuah ancaman namun sebuah peringatan. Peringatan kepada Pemimpin tertinggi di negeri ini yang dianggap masih belum menyelesaikan persoalan yang ada.Â
Menyampaikan pendapat/kritik di depan umum adalah hak asasi manusia sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Jadi, semua yang termasuk warga negara Indonesia berhak untuk mennyampaikan pendapatnya di depan umum dalam berbagai bentuk, contohnya dalam bentuk kesenian, tulisan, aksi diam, berorasi, bahkan dengan kartu kuning asalkan tidak menggunakan kekerasan dan ancaman.
Entah mengapa setelah kejadian ini DPR dan Pemerintah menyepakati pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bersifat delik umum. Apakah ini ada kaitannya dengan kartu kuning yang di berikan oleh ketua Bem UI kepada presiden Jokowi?.Â
Dengan adanya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden apalagi pasalnya bersifat delik umum yang artinya, proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban.hal ini bisa memicu konflik di masyarakat dan adanya kesewenangan dari aparat dengan mengatasnamakan penegakan hukum. Tampaknya pemerintah hanya ingin menstabilkan politik nya saja tanpa mengkaji dulu dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Jika pak Presiden memang menjalankan pemerintahan dengan baik, maka tak perlu menggunakan pasal untuk tempat berlindung dari kritik.
Kemudian kita akan membahas mengenai isi dari kritikan Mahasiswa UI tersebut, disini kita hanya khusus membahas mengenai percepatan penanganan gizi buruk di Asmat meskipun masih ada tuntutan yang lain. Baru-baru ini ada tayangan Mata Najwa di salah satu stasiun televisi indonesia, Adian Napitupulu mengatakan "supaya tuntutan dari mahasiswa lebih jelas, maka mahasiswa harus mengetahui kondisi lapangan dan mendekatkan diri dengan masyarakat disana. Namun pendapat Adian Napitupulu seolah-olah ingin membatasi mahasiswa dalam melakukan kritik, lalu apa gunanya  hasil dari investigasi yang dimuat dalam bentuk tulisan ataupun video jika tidak membangkitkan gairah kritik dari mahasiswa, dan apakah kita harus menciptakan mesin waktu juga untuk kemudian bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 65, 98, Munir dll?
Seorang jurnalis bernama Dandhy Dwi Laksono pernah menuliskan artikel mengenai  "Kemiskinan dan Niat Baik di Papua" dan membuat dokumentasi film Ekspedisi Indonesia Biru yang berjudul The Mahuzes. Bisa di tarik kesimpulan bahwa niat baik yang dilakukan pemerintah di papua bisa menjadi sebuah jebakan pemiskinan dimana hutan yang bisa memberikan mereka kehidupan malah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan proyek sawah sejuta hektare yang menjadikan papua menjadi lumbung pangan dan energi dunia berbasis perusahaan/industri, proyek ini disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Sebagian masyarakat Papua memang masih hidup dari berburu, berladang berpindah. Sebagian yang hidup di pedalaman sepenuhnya merupakan masyarakat peramu, dan tidak memiliki keahlian berladang. Lalu, apakah yang akan terjadi jika hutan yang bisa memberikan mereka semua kebutuhan diubah menjadi perkebunan sawit dan sawah. Hasil investigasi dari Dandhy Laksono dalam Ekspedisi Indonesia Biru akan menjawabnya. jika masyarakat papua menanam padi mungkin butuh 6 bulan untuk bisa memanen dan memakan nya. Bandingkan dengan sagu, satu pohon sagu cukup untuk persediaan makanan satu keluarga selama 6 bulan, satwa-satwa yang biasa mereka buru pun akan ikut lenyap, dan tanpa sumber air alami, yang tadinya air gratis tinggal minum (tanpa perlu BBM untuk memasaknya), kini perlu membeli air kemasan atau tergantung pada PDAM yang kualitasnya tak layak konsumsi.
Kembali lagi kepada tuntutan Ketua Bem UI tadi mengenai percepatan penanganan gizi buruk di asmat. Penanganan gizi buruk memang harus dilakukan dengan segera, akan tetapi lebih baik lagi jika kita mengetahui sebab dari sebuah permasalahan yaitu "mengapa terjadi kasus gizi buruk di Asmat?". Apakah karena unsur kesengajaan untuk memiskinkan masyarakat yang kemudian disusul oleh munculnya berbagai permasalahan seperti gizi buruk dan campak. Kemudian, mengapa hal ini tidak diikutsertakan kepada isi dari kritikan tersebut mengingat sangat banyak kasus perampasan tanah dan alih fungsi lahan di Negeri ini.
Penanganan gizi buruk akan menjadi utopis jika masyarakat di Asmat dan daerah Papua lainnya terus di miskinkan oleh sebuah sistem. Sangat tidak masuk akal ada orang yang mati karena kelaparan dan gizi buruk di tanah Papua yang menyimpan kekayaan alam yang sangat besar.Â