Mohon tunggu...
Sandra Suryana
Sandra Suryana Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pekerja

lulusan S1 Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Taktah yang Hilang (Bab 2)

18 Juni 2020   12:30 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teriknya matahari siang itu begitu terasa seolah aku sedang berjalan pada neraka yang sesungguhnya. Perlahan aku menyusuri aspal jalanan yang begitu panas, sesekali ku angkat tangan kanan dan ku letakkan pada ubun - ubun kepala ku seperti payung kecil yang menaungi ku dari terik matahari. Ketika memasuki jalanan berkelikir, aku menjadi legah karena sebentar lagi tiba di rumah. 

Bapak membangun rumah kami sedikit jauh dari jalanan beraspal sehingga untuk sampai di rumah, aku harus menyusuri jalanan berkerikil, dan melewati beberapa tumbuhan bambu yang sedikit lebat kemudian menyebrangi jembatan kecil yang terbuat dari kayu seperti jembatan penyebrangan. Itu tidak berbahaya dan sangat mudah, namun kini jembatan itu terlihat sudah tidak layak di gunakan apalagi ketika musim hujan, akan sangat sulit di gunakan. Sepertinya kayu - kayu pada jembatan itu harus segera di ganti. Setelah menyebrangi jembatan itu, aku berbalik menatap jembatan kecil yang sudah tidak kokoh lagi sambil menarik napas panjang. "Biasanya melihat hal seperti ini, pasti sudah bapak perbaiki." Aku berbicara sendiri sambil berbalik dan melanjutkan perjalanan ke rumah. Dari jauh terlihat ibu yang sedang duduk di depan teras rumah sambil menunduk dan menggerakkan tangannya pada kain yang sedang di genggamnya. 

"Selamat siang bu.... Ibu lagi buat apa?" Tanya ku pada ibu sembari melepaskan sepatu yang ku pakai. Aku berjalan ke arah ibu, mencium tangannya dan mengambil posisi duduk di sebelahnya. Ternyata ibu sedang menjahit beberapa pakian rumah yang sobek.

"Sana ganti pakianmu, setelah itu makan dan istrahat."

"Ison dan Ista mana bu? Tumben nggak kedengaran suaranya."

"Tadi setelah bertengkar rebutin remot TV, Ista menangis sampai ketiduran, Ison palingan lagi nonton filem kesukaannya." Kata ibu sambil tertawa kecil, mungkin ibu terbayang kejadian tadi. Aku pun ikutan tersenyum mendengar cerita itu sambil membayangkan betapa lucunya kedua adik ku itu ketika bertengkar. Yah,,, mereka terkadang sangat tidak akur, sering bertengkar memperebutkan beberapa hal dan aku sangat senang ketika mereka memulai perkelahian. Betapa lucunya menyaksikan anak - anak seumuran mereka harus bertengkar. Kadang aku merasa legah, setidaknya di rumah masih ada mereka yang selalu membuat ibu marah hingga tertawa. Mereka masih terlalu kecil untuk merasa terbebani dengan situasi sekarang. Tak akan ku biarkan mereka sedih, apalagi sampai memikirkan hal - hal yang menyulitkan mereka. Mereka hanya perlu menjalani hidup seperti anak - anak lain seusia mereka.

Setelah menyantap makan siang yang di sediakan ibu, aku beranjak ke teras rumah, duduk di samping ibu sambil memperhatikan tanganya menari - nari dengan jarum dan benang di atas pakian - pakian sobek itu. Ibu pandai menjahit dengan tangannya. Sambil memperhatikan ibu menjahit aku menceritakan beberapa hal konyol dan membuatnya tertawa. Siang itu menjadi sangat tenang dan damai. Melihat ibu tertawa lepas membuatku merasa sangat bahagia.

(BERSAMBUNG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun