Kehadiran sosok Ki Hadjar Dewantara pada Generasi Milenial
Slogan pastinya dipahami dengan sebuah identitas, bisa berfungsi sebagai ciri-ciri, bisa berfungsi sebagai pembeda, yang pastinya menjadi sebuah patokan nilai-nilai yang dicetuskan oleh pembuat slogan tersebut. Jika ditanya, semua generasi peserta didik pasti tahu arti Tut Wuri Handayani secara singkat. Yang membedakannya hanyalah referensi, jika generasi 80-90an menggalinya dari cerita penyejuk suasana dari guru di sekolah, generasi milenial secara mayoritas mengetahuinya lewat akses internet.
Tidak ada hal yang salah, karena ini adalah persoalan metode, bukan sub pilihan ganda yang membenarkan dan menyalahkan pilihan yang berbeda. Setidaknya slogan tersebut menjadi “mantra” bagi entitas pendidikan yang masih mengagungkan nilai-nilai luhur pendidikan yang diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara, setidaknya berupaya menjadi paradoks dalam kenyataan yang menjatuhkan martabat pendidikan.
Memang, sosok Ki Hadjar Dewantara mau berevolusi seperti apapun model pendidikan di Indonesia, pemikiran beliau yang bernilai sangat futuristik akan tetap menjadi acuan tetap dalam memberikan peran pada innovasi pendidikan di Indonesia, yang pada masa kolonial hanyalah pendidikan yang berorientasi pada keuntungan pemerintahan koloni. Dalam sebuah pidatonnya di hadapan Dewan Senat Universitas Gadjah Mada tahun 1956 pada saat beliau diaungerahi gelar kehormatan “Doktor Honoris Causa”, beliau mengemukakan bahwa Pendidikan bermakna upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, pikiran, dan jasmani, dengan maksud agar memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak bangsa.
Pemikiran seperti inilah yang tidak dimiliki oleh pemerintahan kolonial, yang pada saat itu membatasi pendidikan teruntuk kaum bangsawan. Kekuaasaan menjadi alat penentu arah pendidikan, sehingga diskriminasi seolah menjadi nafas utama bagi perputaran roda pendidikan. Nyatanya, tujuan dasar dari sekolah tersebut, tetap tidak luput dari pengaruh kolonial, yang berhaluan terhadap pemenuhan kebutuhan bangsa Belanda secara politis, ekonomis, dan sosialis.
Setidaknya kita harus bisa bernafas lega, mengingat kebebasan dalam memenuhi hasrat akan pendidikan, tidak lagi secara gamblang dimonopoli akan kepentingan politis tersebut. Memang belum menyeluruh, karena dalam dunia pendidikan yang laksana nirwani bagi pecinta ilmu, pasti ada “serigala” yang bernaung dibalik keagungan idealisme pendidikan tersebut. Namun memang tidak bisa kita tolak, bahwa kenyataaannya penerapan nilai-nilai pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara di masa kini, sudah berevolusi jauh dibandingkan dengan pendidikan pada masa kolonial, sehingga dapat menjadi dasar yang baik untuk memperbaiki sistem pendidikan dan memberikan pengalaman pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak dan generasi muda, khususnya pada generasi milenial.
Bagaimanapun model pembelajaran yang terintegrasi dalam suatu kurikulum, atau paradigma pendidikan dalam era manapun, nilai-nilai pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara masih sangat terasa menyatu dan menjadi landasan pembentuk kebijakan pendidikan tersebut. Merdeka Belajar sebagai contohnya, menjadi representasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara yang di manifestasikan melalui kebijakan dengan tujuan membangun paradigma masyarakat mengenai pendidikan yang berorientasi pada kemajuan bangsa melalui penguatan karakter. Setidak-tidaknya hal ini bentuk nyata dari upaya melawah arus kemandekan pemikiran, lantaran kancah politisasi pendidikan tetap menjadi momok yang menghadang kemajuan dunia pendidikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI