Mohon tunggu...
Sandra Anggia Sri Lestari
Sandra Anggia Sri Lestari Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswi Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan, Universitas Muhammadiyah Palembang

Pekerja tinta yang hanya bisa merefleksikan kejujuran diri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Arus Perjalanan Konsep Pendidikan di Era Generasi Milenial

9 Oktober 2023   10:14 Diperbarui: 9 Oktober 2023   11:12 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kehadiran sosok Ki Hadjar Dewantara pada Generasi Milenial

 

Slogan pastinya dipahami dengan sebuah identitas, bisa berfungsi sebagai ciri-ciri, bisa berfungsi sebagai pembeda, yang pastinya menjadi sebuah patokan nilai-nilai yang dicetuskan oleh pembuat slogan tersebut. Jika ditanya, semua generasi peserta didik pasti tahu arti Tut Wuri Handayani secara singkat. Yang membedakannya hanyalah referensi, jika generasi 80-90an menggalinya dari cerita penyejuk suasana dari guru di sekolah, generasi milenial secara mayoritas mengetahuinya lewat akses internet.

 Tidak ada hal yang salah, karena ini adalah persoalan metode, bukan sub pilihan ganda yang membenarkan dan menyalahkan pilihan yang berbeda. Setidaknya slogan tersebut menjadi “mantra” bagi entitas pendidikan yang masih mengagungkan nilai-nilai luhur pendidikan yang diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara, setidaknya berupaya menjadi paradoks dalam kenyataan yang menjatuhkan martabat pendidikan.

Memang, sosok Ki Hadjar Dewantara mau berevolusi seperti apapun model pendidikan di Indonesia, pemikiran beliau yang bernilai sangat futuristik akan tetap menjadi acuan tetap dalam memberikan peran pada innovasi pendidikan di Indonesia, yang pada masa kolonial hanyalah pendidikan yang berorientasi pada keuntungan pemerintahan koloni. Dalam sebuah pidatonnya di hadapan Dewan Senat Universitas Gadjah Mada tahun 1956 pada saat beliau diaungerahi gelar kehormatan “Doktor Honoris Causa”, beliau mengemukakan bahwa Pendidikan bermakna upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, pikiran, dan jasmani, dengan maksud agar memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak bangsa.

Pemikiran seperti inilah yang tidak dimiliki oleh pemerintahan kolonial, yang pada saat  itu  membatasi pendidikan teruntuk kaum bangsawan. Kekuaasaan menjadi alat penentu arah pendidikan, sehingga diskriminasi seolah menjadi nafas utama bagi perputaran roda pendidikan. Nyatanya, tujuan dasar dari sekolah tersebut, tetap tidak luput dari pengaruh kolonial, yang berhaluan terhadap pemenuhan kebutuhan bangsa Belanda secara politis, ekonomis, dan sosialis.

Setidaknya kita harus bisa bernafas lega, mengingat kebebasan dalam memenuhi hasrat akan pendidikan, tidak lagi secara gamblang dimonopoli akan kepentingan politis tersebut. Memang belum menyeluruh, karena dalam dunia pendidikan yang laksana nirwani bagi pecinta ilmu, pasti ada “serigala” yang bernaung dibalik keagungan idealisme pendidikan tersebut. Namun memang tidak bisa kita tolak, bahwa kenyataaannya penerapan nilai-nilai pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara di masa kini, sudah berevolusi jauh dibandingkan dengan pendidikan pada masa kolonial, sehingga dapat menjadi dasar yang baik untuk memperbaiki sistem pendidikan dan memberikan pengalaman pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak dan generasi muda, khususnya pada generasi milenial.

Bagaimanapun model pembelajaran yang terintegrasi dalam suatu kurikulum, atau paradigma pendidikan dalam era manapun, nilai-nilai pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara masih sangat terasa menyatu dan menjadi landasan pembentuk kebijakan pendidikan tersebut. Merdeka Belajar sebagai contohnya, menjadi representasi  dari pemikiran  Ki  Hajar  Dewantara yang di manifestasikan melalui kebijakan  dengan tujuan  membangun  paradigma  masyarakat  mengenai pendidikan yang berorientasi pada kemajuan bangsa melalui penguatan karakter. Setidak-tidaknya hal ini bentuk nyata dari upaya melawah arus kemandekan  pemikiran, lantaran kancah politisasi pendidikan tetap menjadi momok yang menghadang kemajuan dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun