Padahal daerah sekecil Takengon, Aceh Tengah, tempat banyak sahabat Ulfie tinggal, seharusnya bisa dicover oleh paling tidak 1 petugas kesehatan saja, yang khusus memberikan edukasi dengan kesehatan seksual secara terus-menerus.
Ulfie bahkan mengunjungi salah satu instansi pemerintahan terkait ketika ia di Banda Aceh untuk menanyakan mana peran pemerintah dalam menolong warganya. Seperti biasa, Ulfie seperti bicara dengan tembok, perwakilan dari instansi tersebut mati-matian yakin bahwa ada seorang petugas yang sudah rutin memberikan edukasi di Takengon dan selalu memberikan laporan yang baik. Padahal selama Ulfie berada di Takengon, nama orang itu bahkan tidak pernah disebut.
Tetapi permasalahan bukan hanya berasal dari pihak pemerintah saja, karena seandainya pemerintah tidak mau membantu, sudah ada LSM dan yayasan yang bersedia membantu. Tetapi dari masyarakatnya sendiri, khususnya yang transgender yang selama ini mendapat stigma negatif dari warga sekitarnya, juga enggan untuk memeriksakan diri. Privasi menjadi alasan utama. Warga transgender merasa selalu berada di bawah sorotan, bila mereka memeriksakan diri, mereka khawatir akan meresahkan masyarakat karena petugas yang memeriksa adalah kerabat atau kenalan mereka yang juga dikenal oleh keluarga dan sahabat merea yang lain. Mereka sudah cukup harus menahan malu, rasanya sulit kalau harus ditambah 1 beban lagi.
 Sendirian Ulfie berusaha mengatasi masalah ini. Ia menghubungi semua sahabatnya di Takengon satu per satu, mengajak mereka untuk pergi ke Banda Aceh untuk memeriksakan diri, di mana tidak ada yang mengenal mereka.Â
Sayangnya tetap tidak ada yang menanggapi. Stigma yang terlalu negatif dari membuat mereka terlalu takut untuk mengetahui apakah mereka sudah terinfeksi HIV atau belum. Betapa sayang! Jika sudah begini, dosa siapa?
Ulfie akhirnya memboyong ibunya ke Jakarta agar bisa hidup lebih nyaman di rumahnya. Selama ibunya di rumahnya, Ulfie berusaha berpakaian semaskulin mungkin untuk menjaga perasaan ibunya. Ia menyayangi ibunya, tetapi ia juga ingin menjadi diri sendiri. Betapa sedihnya ketika diri kita yang sesungguhnya justru menyakiti hati orang yang kita sayangi. Siapa yang akan kita pilih untuk kita khianati? Diri kita atau orang yang kita sayangi? Pilihan yang sulit.
Belum berhenti sampai di situ, Ulfie juga masih berperang dalam dilemma, mengenai kondisi kesehatannya. Ia tidak ingin ibunya mengetahui kondisinya. Tetapi dengan semakin aktifnya Ulfie dalam kampanye HIV, bagaimana selamanya ia mau menutupi hal ini dari ibunya?
Aduh, pikiran saya pun jadi sesak ketika harus memikir beratnya kehidupan Ulfie. Saya hanya berharap saya tidak menjadi salah satu orang yang ikut-ikutan menambah beban hidup Ulfie dan teman-temannya. Â
 ***
Bagi para Kompasianer yang tertarik untuk mengikuti rangkaian acara Enambelas Film Festival dapat follow instagram @enambelasffest untuk melihat jadwal acara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H