Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3 Pilar Perbaikan Kualitas Hidup Difabel di Indonesia

31 Oktober 2018   14:01 Diperbarui: 31 Oktober 2018   17:17 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Pagi ini ketika saya sedang menunggu kereta commuter di stasiun, saya melihat satu pemandangan yang langka sekali saya lihat di Indonesia. Seorang pemuda dengan kondisi kaki tidak normal, menggunakan kruk, sedang duduk di bangku prioritas yang memang disediakan salah satunya bagi penderita disabilitas. 

Mungkin bagi orang lain ini adalah pemandangan yang biasa saja tapi bagi saya pribadi pemandangan ini sangat menyentuh hati. Fasilitas yang disediakan pemerintah bagi kaum difabel dapat dimanfaatkan oleh mereka dan masyarakat lain cukup menghormati fasilitas tersebut dengan tidak menyesaki bangku tersebut sehingga pemuda difabel tersebut bisa duduk.

Selama ini saya cukup sering gembar-gembor agar pemerintah lebih memperhatikan kaum difabel, salah satunya dengan menyediakan fasilitas yang memampukan mereka untuk menjalani hidup layaknya orang biasa bahkan tetap bisa produktif, bekerja, menjalani fungsinya sebagai manusia bermanfaat dan berkontribusi bagi pembangunan bangsanya. 

Saya juga sering mengkritik masyarakat kita yang masih terlalu cuek atau skeptis terhadap warga difabel, menganggap bahwa mereka adalah beban bagi keluarga dan Negara karena tidak mungkin bisa bekerja. (Bisa dibaca di artikel saya yang ini: Disabilitas di Indonesia, Ini Tentang Kita dan Saya Buta dan Tuli, Bukan Berarti Bodoh dan Miskin)

Tetapi melalui pemandangan yang saya lihat pagi ini, saya menyadari, selama ini saya melupakan 1 pilar yang tidak kalah penting dalam perbaikan kualitas hidup kaum difabel di Indonesia, yaitu kaum difabel itu sendiri. 

Dengan adanya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, pun bila masyarakat sudah lebih kondusif dan suportif terhadap kaum difabel tetapi apabila kaum difabel itu sendiri tidak berusaha untuk mengatasi keterbatasan dirinya, berani melangkah keluar dari pintu rumahnya, mendobrak tembok-tembok yang selama ini menghalangi kemajuan mereka, tentunya semua itu tidak akan ada gunanya.

Oleh karenanya melalui pengalaman hari ini, saya menyimpulkan bahwa pada dasarnya ada 3 pilar yang saling menopang dalam usaha kita memperbaiki kualitas hidup kaum difabel di Indonesia. Berikut adalah ketiga pilar tanpa urutan prioritas tertentu:

Pemerintah sebagai penjamin hak asasi kehidupan seluruh rakyatnya wajib memberikan fasilitas yang mampu mengakomodasi kebutuhan kaum difabel di negara ini.

Tanpa adanya peran pemerintah dalam memperhatikan kebutuhan dan hak hidup mereka, niscaya semua usaha swadaya dan swasta hanya akan menjadi usaha lingkup kecil yang sulit terkoodinasi sampai tingkat nasional, masyarakat akan sulit terbuka pikirannya karena merasa tidak ada dorongan dari pemerintah, dan kaum difabel sulit percaya bahwa usaha mereka akan diakui dan membuahkan hasil.

Kultur masyarakat yang terbuka harus dimulai dengan melihat fakta-fakta di lapangan bahwa kaum difabel mampu berprestasi dan berkontribusi terhadap lingkungannya.

Membangun kultur masyarakat seperti ini bukanlah hal yang mudah dan murah. Pemerintah harus senantiasa mendorong produktivitas kaum difabel lalu meng-highlight semua prestasi yang layak digaungkan untuk menjadi acuan dan bukti bagi masyarakat bahwa tidak selamanya kaum difabel adalah beban.

Seperti yang saya kemukakan di paragraf sebelumnya, kaum difabel sendiri harus ditumbuhkan semangatnya agar mampu berjuang dan tidak terpuruk dengan keadaan fisiknya. 

Semangat ini bisa tumbuh dengan adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat yang pikirannya maju dan dengan keterbukaan informasi dari pemerintah mengenai kesempatan seluas-luasnya bagi kaum difabel untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Ketiga pilar ini layaknya pilar penyangga bangunan berbentuk limas segitiga di mana ketiganya harus ada bersamaan. Bila 1 saja dari 3 pilar ini rapuh, maka limas tersebut akan segera roboh.

Semua fasilitas yang disediakan pemerintah dengan baik apabila tidak dihargai oleh masyarakat juga akan sia-sia, contoh: bangku prioritas justru diduduki oleh warga yang sehat, jalur khusus tuna netra dipakai untuk PKL berjualan, jalur luncuran khusus untuk pengendara kursi roda disesaki oleh pejalan kaki, dll. 

Kultur masyarakat misalkan yang sudah kondusif tanpa dukungan pemerintah, juga lama-lama akan pudar bahkan punah bila terus-menerus diabaikan bahkan direpresi oleh pemerintah, contoh: masyarakat senantiasa ingin memprioritaskan kaum difabel di transportasi umum tetapi justru di dalam transportasi umum tersebut tidak disediakan tempat khusus untuk kaum difabel. 

Atau masyarakat justru jadi tidak terbiasa memprioritaskan kaum difabel karena memang jarang melihat kaum difabel yang beraktivitas di luar rumah, berusaha menggunakan angkutan umum, bekerja di kantor, dll. 

Tetapi kaum difabel juga tentunya jadi jarang keluar rumah karena kesulitan untuk berpindah dari 1 tempat ke tempat lain karena tidak ada fasilitas dari pemerintah yang ramah bagi kaum difabel atau tidak berani keluar rumah karena sering di-bully oleh orang-orang yang ditemui atau sulit mendapat kesempatan kerja.

Terlihat kan, bagaimana ketiga pilar ini saling mempengaruhi.

Pagelaran Asian Paragames beberapa waktu lalu dapat menjadi cermin bagaimana upaya pemerintah mendukung kaum difabel, animo masyarakat akan prestasi kaum difabel dan kerja keras kaum difabel demi bangsa dan negara ini. Saya bukan pengamat ahli, mengenai Asian Paragames kemarin, saya kembalikan kepada Kompasianer sekalian untuk menilainya. 

Sudahkah kaum difabel memberikan yang terbaik? Sudahkah masyarakat mengapresiasi prestasi kaum difabel? Sudahkah pemerintah mengakomodasi semua kebutuhan kaum difabel?

Semoga setiap pengalaman kecil yang terjadi sehari-hari sampai ajang sebesar Asian Paragames bisa menjadi evaluasi bagi kita semua, bagaimana sebaiknya kita membantu memperbaiki kualitas hidup kaum difabel!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun