Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Acara "Traveling Indonesia" Butuh Revolusi Konsep

28 April 2018   11:01 Diperbarui: 28 April 2018   13:34 3596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ngobroltravel.com

Saya termasuk penggemar acara travelling di televisi, tidak hanya acara dalam negeri tetapi juga luar negeri. Saya sangat suka melihat keindahan tempat-tempat yang belum pernah saya datangi, keunikan budayanya, susah senangnya travelling ke daerah tersebut, kulinernya, dll. Bahkan saya juga menyenangi acara variety show yang penuh dengan permainan seru yang dilakukan di berbagai tempat wisata atau yang sekaligus mengunjungi wisata negara lain.

Tetapi yang paling saya senangi adalah acara travelling yang tidak hanya menampilkan potensi wisata suatu tempat dan menambah wawasan penontonnya melainkan juga memancing kepedulian pemirsa akan permasalahan-permasalahan sosial yang masih menjadi keprihatinan di tempat tersebut, tanpa mengeksploitasinya secara berlebihan. 

Saya senang bila melihat host-host acara travelling tidak hanya menunjuk-nunjuk pemandangan indah dan menjilat bibir setelah berwisata kuliner tetapi juga mampir ke panti asuhan setempat, ikut membantu mengecat sekolah, memberikan sumbangan materi ataupun tenaga untuk membantu masyarakat sekitar. 

Bagi saya itu bukan hanya menjadi pembeda acara tersebut dengan acara travelling lainnya tetapi juga memberikan nilai lebih, bukan hanya terhadap martabat acaranya tetapi juga bagi moralitas warga setempat yang daerahnya sudah "dipromosikan" oleh acara tersebut.

Sayangnya  saya tidak menemukan misi "travel with purpose" di acara-acara travelling Indonesia. Acara travelling Indonesia, hanya berada di dua kutub: murni "mempromosikan tempat wisata Indonesia" atau mengeksploitasi kesusahan masyarakat setempat.

Saya menambahkan tanda kutip dalam kata "mempromosikan tempat wisata" karena menurut saya promosi yang mereka lakukan pun hanya setengah hati dan tidak ditopang dengan fondasi niat yang luhur. Mungkin lebih tepat bila dikatakan bahwa yang mereka promosikan adalah gaya hidup travelling.

Dalam acara-acara travelling Indonesia yang mempromosikan tempat wisata terutama wisata domestik, lebih banyak ditampilkan para host dengan gaya ala kota besarnya pergi ke tempat-tempat yang mungkin masih jarang dikunjungi wisatawan. 

Yang lebih sering dimunculkan adalah interaksi antara host, ngobrol-ngobrol pepesan kosong di antara mereka tanpa ada informasi bermakna yang bisa diambil oleh penonton, "Ini tempatnya keren banget guys, meskipun medannya agak susah dan kaki gue sempet lecet kena batu dan ranting pohon tadi tapi kalian wajib dateng ke sini, karena pemandangannya bener-bener bagus banget." 

Atau terkadang dibuat nuansa dramatis seakan-akan terjadi tragedi mengerikan lalu para host tampak panik bertanya apa yang terjadi "Gak apa-apa, jempol gw kena batu". Info apa yang bisa didapat dari adegan-adegan ini?

Bila shooting di wisata air, tidak jarang dishoot adegan-adegan yang memamerkan perut six pack host laki-laki atau hanya melihat para host tersebut berenang kesana kemari, lompat dari dermaga atau tebing batu atau apalah, bolak balik maju mundur ke atas ke bawah sambil membawa kamera GoPro beserta tongsisnya. Nilai tambah apa yang bisa penonton dapat dari adegan-adegan ini?

Belum lagi, akhir-akhir ini acara-acara tersebut mulai disusupi oleh iklan-iklan, mulai dari krim analgesik sampai handphone.

Penonton dibuat mabuk kepayang oleh pemandangan alam Indonesia yang diambil menggunakan drone, untuk menghilangkan rasa bersalah tidak jarang mereka mengajak komunitas setempat mengantar para host seakan-akan peduli dengan kearifan lokal, padahal yang sebenarnya dijual adalah penampilan fisik dan gaya hidup para host, yang sebenarnya dikejar adalah rating dan yang sebenarnya dipromosikan adalah mi instan. 

Saya tidak tahu mana yang sebab mana yang akibat, peningkatan antusiasme masyarakat untuk travelling sehingga membuat stasiun TV banyak menampilkan acara travelling demi rating atau karena banyaknya acara travelling di TV sehingga masyarakat jadi lebih tertarik untuk travelling. 

Mungkin keduanya saling memengaruhi, tetapi menurut saya tidak tepat bila acara travelling saat ini hanya dimanfaatkan untuk mempromosikan potensi wisata domestik saja. Acara travelling Indonesia harus naik kelas menjadi sarana untuk menambah kecerdasan travelling masyarakat kita.

Para host biasanya hanya memberikan saran yang menurut saya sangat klise "Kita harus menjaga dan melestarikan alam yang indah ini guys, antara lain dengan tidak membuang sampah sembarangan," Memang masih banyak sekali masyarakat kita yang masih hobi mengotori tempat wisata dengan buang sampah sembarangan, coret-coret batu, dll. 

Tetapi menurut saya masih banyak hal lain yang bisa disampaikan untuk menambah kepedulian dan mempertajam etika masyarakat Indonesia yang dapat dikatakan masih baru mulai senang berwisata, misalnya: untuk menjaga sopan santun bila berkunjung ke tempat sakral atau tempat ibadah, tidak sembarangan mengambil, memetik atau menyentuh binatang-binatang, perhatikan arah dan panjang tongsis bila berada di tempat ramai, dll.

Bila visi misi acara travelling Indonesia lebih didalami dan dihayati saya yakin kejadian seperti adegan memasak kima yang heboh beberapa waktu lalu tidak akan terjadi. Harus ada revolusi konsep acara travelling Indonesia, bukan hanya jadi acara adu pamer kemolekan pemandangan, melakukan kegiatan-kegiatan yang tampak keren demi rating tetapi juga mendidik masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas dalam berwisata.

Bila konsep ini diusung secara tekun dan gigih, saya yakin pariwisata Indonesia akan semakin maju karena bukan hanya karena keindahan bumi Indonesia tetapi juga karena attitude masyakarat kita yang membuat siapapun betah. Selanjutnya, mudah-mudahan masyarakat kita bisa membawa nama baik Indonesia bila berwisata ke luar negeri dan insiden memalukan salah satu artis kita di Holocaust Memorial di Jerman tidak terulang lagi.

Masyarakat Indonesia dapat dikatakan masih baru mulai belajar berwisata sehingga masih perlu banyak belajar tentang etika berwisata. Sangat disayangkan bila peningkatan kemampuan ekonomi dan minat berwisata ini tidak diimbangi dengan etika berwisata yang benar. 

Travelling menjadi kehilangan makna dan hanya menjadi ajang mengejar follower instagram sampai melupakan kenikmatan eksplorasi travelling. Dan acara travelling di televisi dapat berperan untuk mengubah hal ini, mendidik masyarakat Indonesia berwisata cerdas, bukan malah mendukung gaya hidup travelling yang cuek dan arogan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun