Kedua, sekali lagi, karena stereotip dan mindset yang salah dari warga kita. Orang tua dengan anak difabel seringkali merasa malu dengan kondisi anaknya dan mengira anak ini hanya akan menjadi beban sampai hari tuanya. Bagi Kompasianer yang rutin mengunjungi panti dan yayasan untuk anak disabilitas tentu tahu bahwa sebagian besar anak di sana tidak bisa dihubungi lagi orang tuanya atau malah tidak diketahui siapa orang tuanya.
Ini semua karena pola pikir yang salah, mengira anak difabel tidak bisa tumbuh normal, menjadi mandiri, bahkan berprestasi. Bagaimana stereotip ini bisa tumbuh? Karena memang tidak pernah terlihat ada kesempatan dan tempat kerja bagi mereka.
Kita semua harus mulai mengubah mindset kita mengenai warga difabel dari charity menjadi pemberdayaan. Charity sudah basi, tidak tepat sasaran dan melumpuhkan, membuat yang impaired menjadi disabled (Baca juga: Disabilitas di Indonesia, Ini Tentang Kita), membangun mental pengemis, terus-menerus hidup hanya mengandalkan belas kasihan orang lain. Bahkan pengemis tidak difabel sengaja "mencacatkan" diri mereka karena mereka tahu bila terlihat cacat akan lebih dikasihani dan dapat uang lebih banyak.
Warga difabel juga manusia yang punya martabat, berikan itu pada mereka. Bantu mereka mendapatkan hidup yang bermartabat karena banyak dari mereka yang mampu bekerja, mampu hidup mandiri, mampu memberikan kontribusi besar bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H