Setelah pidato Frances, kita bisa menduga bahwa inclusion rider akan menjadi trend baru di Hollywood, sudah ada dua artis yang tercatat mendukung gerakan ini yaitu Brie Larson melalui cuitan di Twitternya dan Michael B. Jordan yang menyatakan bahwa rumah produksinya, Outlier Company, akan segera mengadaptasi konsep ini.
Bila di Amerika Serikat baru mulai familiar dengan konsep ini, mungkin kita di Indonesia butuh 200 tahun lagi. Padahal situasinya tidak terlalu berbeda menurut saya. Film Indonesia termasuk sinetron dan komedi situasi masih terlalu didominasi oleh etnis tertentu. Kompasianer pasti merasa juga, film Indonesia didominasi tokoh berlogat Betawi dan Jawa, bila ada variasi mungkin logat Batak atau Ambon, berapa banyak film dengan tokoh berlogat Makasar, Manado, Banjar, Nusa Tenggara, Hokkian, Melayu?
Representasi tokoh dengan etnis tertentu juga selalu digandengkan dengan stereotip yang tidak pantas menurut saya. Tokoh etnis Jawa pasti digambarkan lambat dan tidak tegas, etnis Betawi digambarkan kasar dan blak-blakan, etnis Batak pasti suka marah-marah, etnis Ambon pasti sering tidak nyambung bila diajak bicara kemudian jadi bahan tertawaan penonton, dll.
Soal agama juga, tokoh utama perempuan berhijab selalu lemah lembut dan tidak pendendam, kapan ada tokoh beragama lain? Belum lagi soal penampilan dan status sosial, anak muda tajir melintir ditampilkan sombong dan bossy, yang perempuan dengan dandanan maksimal dan baju mahal, bangga dengan kekayaan yang bukan hasil kerjanya sendiri, Indonesia ini mayoritas warganya miskin, Bos! Warga miskin kemudian lebih banyak ditampilkan dalam reality show demi mengundang simpati padahal bisa jadi hanya eksploitasi kemiskinan demi rating.
Jika kita ingin negara kita bersatu di tengah sekian banyak perbedaan, tentunya bukan dengan cara mengkotak-kotakkan etnis atau golongan tertentu sesuai dengan pengetahuan sutradara atau penulis naskah yang mungkin belum pernah menjelajahi Indonesia sehingga wawasannya tentang keragaman Indonesia hanya didapat dari buku pelajaran saat dia sekolah di zaman Orde Baru. Atau malah disesuaikan dengan preferensi penonton sekali lagi demi rating, penonton yang seharusnya dididik oleh tayangan di televisi malah jadi pengatur kemudi.
Produser film juga termasuk para Youtuber yang videonya ditonton generasi muda kita, harus mulai menyadari bahwa film atau video adalah bagian penting pembentukan budaya suatu bangsa. Bantu persatukan bangsa kita melalui film atau video Anda, jangan malah menjadi bagian dari propaganda!
Referensi:
Npr.org
Theguardian.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H