Masih seputar Billy Milligan dan Dissosiative Identity Disorder. Dua artikel saya sebelumnya mengenai topik ini yaitu Mengenal "Dissosiative Identity Disorder" Dari Berbagai Kisah dan Ragam Wajah Billy dan Sybil, Akibat Kekerasan Pada Anak.
Kali ini saya ingin menyoroti kisah DID dari perspektif yang berbeda yaitu respon masyarakat. Di bagian ketiga dari novel "24 Wajah Billy" diceritakan tentang kehidupan Billy setelah dinyatakan tidak bersalah karena gangguan jiwa atas tindak pemerkosaan dan perampokan yang dia lakukan terhadap 3 perempuan di kampus Ohio State University.
Setelah ketok palu persidangan, Billy menjalani perawatan di Athens Mental Health Center (AMHC) ditangani oleh psikiater ahli DID, dr. David Caul. AMHC adalah fasilitas mental yang terbuka untuk umum, bukan rumah sakit forensik dengan tingkat penjagaan maksimum.
Billy senang berada di AMHC, gedungnya bersih terawat dan teratur, tenaga kesehatannya sangat pengertian karena sudah beberapa kali menangani pasien DID. Suasana kondusif ini terbukti mendukung perawatan mental Billy. Billy mengalami banyak kemajuan di sini.
Di sini, muncul 1 pribadi Billy yang terfusi yaitu Sang Guru. Sang Guru merupakan gabungan dari ke-24 pribadi dalam tubuh Billy yang memiliki ingatan dan kemampuan lengkap dari semua pribadi tersebut. Sang Guru adalah Billy yang seutuhnya.
Melalui Sang Guru, Daniel Keyes berhasil mengumpulkan banyak sekali informasi yang berguna untuk menulis novel "24 Wajah Billy". Penulisan novel ini dilakukan selama Billy berada di AMHC karena setelah Billy dipindahkan dari AMHC ke Lima State Hospital for Criminally Insane, Billy jatuh lagi dalam depresi dan kekacauan, Sang Guru menghilang dan kepribadiannya terpecah lagi.
Lima State Hospital for Criminally Insane adalah RS forensik milik pemerintah dengan pengamanan super ketat dan pelayanan yang tidak sesuai standar bahkan mengerikan. Kedua pengacara Billy saat persidangan berupaya keras agar Billy tidak ditempatkan di sini karena mereka meyakini Billy akan makin kacau bila dirawat di RS yang biasa disebut RS Neraka.
Di Lima State Hospital, tidak ada dokter spesialis jiwa, tidak ada perawat yang terlatih untuk menangani pasien kejiwaan dan tidak ada SOP yang jelas dalam menangani pasien-pasiennya. Pada saat itu, masih marak dilakukan terapi kejut listrik untuk pasien dengan penyakit tertentu khususnya gangguan kejiwaan. Tetapi di Lima State Hospital, kejut listrik lebih banyak digunakan sebagai hukuman ketimbang terapi. Suasana di Lima lebih mirip seperti penjara dengan residen yang agresif dan tidak mendapat penanganan yang tepat, sementara tenaga medisnya kasar, acuh bahkan sering tidak manusiawi.
Di bawah penanganan dr. David Caul di AMHC, Billy sangat stabil dan mengalami banyak kemajuan. Dia bekerja sama dengan baik dalam penulisan buku, bersosialisasi dengan pasien-pasien lainnya bahkan beberapa kali membantu perawat menolong pasien yang menghilang atau sedang kumat, produktif melukis dan belajar hal-hal baru. Melihat progres ini, dr. David pelan-pelan mulai mengizinkan Billy keluar dari lingkungan RS. Awalnya hanya ke taman, didampingi perawat dan sekuriti, kemudian boleh  jalan-jalan di taman tanpa pendamping, selanjutnya lagi Billy mulai diizinkan keluar dari area RS untuk pergi ke bank atau membeli peralatan lukis, awalnya didampingi tetapi kemudian sendiri.
Dan di sinilah kekisruhan mulai terjadi. Media yang sejak merebaknya kasus Billy terus mengawal perkembangan kasusnya mulai menampilkan berita-berita yang menggiring opini publik. Media mempertanyakan pertimbangan dr. David Caul mengizinkan seorang pemerkosa dengan gangguan jiwa berkeliaran bebas di jalanan. Pemberitaan yang gencar mau tidak mau membuat masyarakat resah dan menuntut pengadilan mengawasi Billy lebih ketat. Billy kemudian mulai dilarang keluar RS, sejak hak istimewanya ini dicabut Billy sudah mulai goyah, tetapi media dan masyarakat termasuk para politikus setempat yang berusaha mengambil simpati publik belum puas, mereka menuntut Billy dipindahkan ke Lima State Hospital.
Akhirnya, Billy harus menyerah pada desakan publik yang bertubi-tubi dan dipindahkan ke Lima State Hospital. Kondisi yang sangat tidak kondusif di Lima membuat Billy kacau lagi. Meskipun di akhir novel sekuelnya "Pertarungan Jiwa Billy" diceritakan happy ending, di mana semua pribadi Billy berhasil terfusi tetapi dalam kenyataannya pribadi itu kemudian terpecah lagi. Billy Milligan meninggal pada usia 59 tahun dalam kondisi tetap berkepribadian multipel.
Penyiksaan anak yang menjadi penyebab pecahnya kepribadian Billy hanya dianggap sebagai hal minor, tidak penting. Billy dinilai sebagai pemerkosa, pelaku kejahatan, sampah masyarakat. Billy, alih-alih didukung, justru dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk menaikkan rating media dan pencitraan para politikus. Padahal Billy adalah korban.Â
Saya mengutip kata-kata Billy pada Daniel Keyes saat mereka mengunjungi perkebunan dan lumbung tempat Billy dulu disiksa.
Aku hanya berpikir, bisa saja Chalmer (ayah tiri Billy) pernah disiksa saat dia masih anak-anak...aku mencoba memahami penderitaan yang dia alami yang bisa menjelaskan kemarahan dan kejahatannya padaku. Mungkinkah Grampa Milligan menyiksanya dan mungkinkah Grampa disiksa oleh ayahnya? Bagaimana jika penyiksaan itu terjadi turun-temurun dan Chalmer mewariskannya padaku...? Aku tahu bahwa anak-anak yang disiksa cenderung menjadi penyiksa saat dewasa...Mungkin aku harus dihukum atas apa yang aku lakukan pada ketiga wanita itu...Aku menyadari sekarang bahwa mereka akan menderita seumur hidup gara-gara aku. Aku sangat menyesal. Bagaimana kalau mereka meneruskan lingkaran itu karena aku  dan menyakiti anak-anak kecil?
Kekerasan pada anak bisa jadi berhenti saat anak sudah tumbuh dewasa tetapi akibatnya masih harus ditanggung oleh si anak sampai akhir hayatnya, si anak tumbuh menjadi orang dewasa yang bermasalah yang berkubang dengan adiksi, depresi bahkan DID dan kemudian meneruskan rantai kekerasan ini pada orang lain. Orang-orang dengan gangguan kejiwaan membutuhkan suasana yang kondusif demi penyembuhan yang holistik. Masyarakat yang tidak suportif, tidak acuh, diskriminatif,penuh stigma negatif bahkan sadis terhadap penyandang gangguan jiwa justru akan semakin membuat mereka terpuruk, makin sulit sembuh dan makin tidak bisa berfungsi secara sosial di masyarakat. Akibatnya rantai kekerasan akan terus berlanjut tanpa akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H