Tagar #MeToo sampai sekarang masih aktif berseliweran di dunia maya. Banyaknya perempuan yang mulai berani menceritakan pengalamannya mengalami pelecehan seksual mendapat beragam respons, antara lain dengan munculnya beberapa variasi dari tagar ini. Salah satunya adalah #MosqueMeToo.
Tagar ini dipopulerkan oleh seorang aktivis perempuan Mona Eltahawy ketika menceritakan pengalamannya dilecehkan ketika beribadah haji saat usianya 15 tahun. Tweet-nya di-share lebih dari 2000 kali dalam waktu 24 jam dan semakin banyak perempuan Muslim yang membagikan pengalamannya mendapat pelecehan seksual ketika sedang beribadah atau berada dalam lingkungan masjid.
Di kalangan gereja juga mulai beredar tagar #ChurchToo, di mana banyak perempuan membagikan pengalamannya dilecehkan di lingkungan gereja maupun asrama dan sekolah Katolik, baik oleh pejabat gereja, guru, ketua pemuda bahkan oleh pastor atau pendeta.
Karena saya adalah seorang Katolik maka saya akan lebih banyak membahas mengenai yang terjadi di Gereja Katolik.
Jauh sebelum tagar #MeToo maupun #ChurchToo, Gereja Katolik sudah tidak asing dengan tudingan pelecehan seksual terutama yang dilakukan oleh para pastornya. Pada era masa kegelapan Gereja Katolik, di mana pemimpin gereja banyak ikut campur dalam politik suatu negara, sudah menjadi rahasia umum bahwa kaul selibat para biarawan banyak tidak diindahkan. Tetapi sejak reformasi Gereja kemudian era Konsili Vatikan, banyak hal dibenahi terutama terkait dengan sistem dan hierarki Gereja.
Tetapi seiring dengan waktu, ternyata sistem dan hierarki di Gereja Katolik saat ini banyak dikritik karena dinilai tidak responsif akan isu-isu kemanusiaan di dunia, salah satunya adalah tentang pelecehan seksual oleh biarawan. Sejak awal abad ke-20, tudingan pelecehan seksual oleh pastor pada anak-anak mulai muncul dan terus bertambah secara perlahan-lahan.
Kenapa perlahan? Karena jarang sekali ada korban yang berani muncul ke publik. Tuduhan berat semacam pelecehan seksual oleh pastor tentunya tidak boleh dilemparkan sembarangan, respon masyarakat yang justru lebih memihak Sang Pastor, menganggapnya sebagai wakil Tuhan yang tidak bisa berdosa dan menuduh korban sebagai makhluk yang najis, kemudian lebih mengarahkan korban untuk mengaku dosa ketimbang melaporkan ke pihak berwajib-- tentunya menyiutkan nyali korban untuk melapor.
Selama hampir seribu tahun, pelecehan seksual dalam gereja seakan terkubur di balik kemegahan gereja, keagungan ajaran cinta kasihnya dan wibawa para pastornya. Sampai akhirnya Boston Globe menulis serial reportase pada tahun 2002 mengenai pelecehan anak oleh puluhan pastor di Boston yang selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang layak. Reportase yang memenangkan Pulitzer Prize for Public Service ini, seketika memicu kehebohan di lingkungan masyarakat yang serentak melaporkan aksi pedofilik para pastor selama bertahun-tahun.
Sayangnya kehebohan itu tidak terjadi di kalangan Gereja, Gereja terkesan bergeming, hanya melirik sedikit tetapi kemudian kembali tak acuh. Pihak Vatikan hanya berkomentar sedikit soal kasus ini, kemudian melemparkan tanggung jawab kepada masing-masing keuskupan dan hukum setempat.
Kisah reportase Boston Globe ini telah difilmkan pada tahun 2015 dengan judul "Spotlight", diperankan oleh antara lain Michael Keaton, Mark Ruffalo dan Rachel McAdams. Film ini menceritakan kerja keras para wartawan tim Spotlight di Boston Globe berusaha mengungkap kasus pelecehan seksual oleh seorang pastor setempat, mengorek-ngorek informasi yang ditutupi dengan cantik.
Tetapi kebusukan bagaimanapun ditutupi, baunya akan tercium juga, kasus ini ternyat jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Berawal dari 1 pastor dengan 60 korban sampai ditemukan 250 pastor predator dengan lebih dari 2000 korban, hanya di Keusukupan Boston saja. Film ini masuk 4 nominasi di Academy Awards tahun 2016 dan memenangkan 2 di antaranya yaitu Best Picture dan Best Original Screenplay.