Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Bersyukur karena Merantau

12 Februari 2018   11:58 Diperbarui: 12 Februari 2018   12:20 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: thesweetestoccasion.com

Saya tinggal dan tumbuh besar di era 90-an di Tangerang, dalam keluarga ekonomi menengah, di mana semua kebutuhan primer dan sekunder saya terpenuhi dengan sempurna. Saya makan cukup 3x sehari, terkadang diselingi camilan yang bisa saya ambil kapanpun dari lemari es, saya tidur dengan springbed dalam kamar yang dilengkapi AC.

Berangkat ke sekolah diantar ibu saya dengan mobil, saya mudah berkomunikasi dengan teman-teman saya menggunakan telepon dan ketika handphone mulai marak, orang tua saya membelikannya untuk saya juga.

Ketika saya memutuskan untuk merantau ke Papua Barat, saya tahu bahwa saya akan mendapatkan banyak pengalaman menarik dan belajar banyak hal baru. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan belajar suatu hal yang mungkin bagi orang lain sangat sederhana, yaitu bersyukur.

Di Teluk Bintuni Papua Barat tahun 2012, listrik hanya menyala 12 jam dan belum tentu setiap hari. Pertama kalinya dalam hidup saya menyadari betapa saya tergantung pada listrik. Semuanya terasa berbeda ketika tidak ada listrik. Saya mulai menghargai sinar matahari yang masuk lewat jendela kamar saya, saya menikmati udara pagi hari yang segar, bukan yang bercampur hawa AC.

Tidak ada berita dari TV yang padat untuk persiapan memulai hari. Saya menyiapkan sarapan dengan tenang tanpa deru suara blender atau microwave. Mandi pagi dengan air segar tanpa dukungan water heater.

Siang hari, saya duduk-duduk di beranda mess, kadang bersama sejawat lainnya, ngobrol ringan sambil kipas-kipas, menunggu saatnya listrik menyala. Ketika kira-kira pukul 6 sore, listrik akan menyala, seisi mess biasanya langsung bersorak gembira. Bila kita sedang ada di luar, kita bisa mendengar suara anak-anak tetangga bersorak ketika listrik menyala. Semua langsung bangkit mengisi daya handphone dan laptop, menyalakan TV, mulai menyetrika baju, memasak nasi, dll.

Di Jakarta ketika listrik mati 15 menit saja, mungkin layanan konsumen PLN langsung dibombardir dengan telepon keluhan dari sekian banyak pelanggan dan kejadiannya langsung masuk dalam berita. Di Papua, we never take it for granted. Listrik lebih banyak matinya daripada nyala, ketika listrik menyala lebih lama dari yang seharusnya kita justru curiga "Kok belum mati? Ada apa ya? Jangan-jangan besok gak nyala, karena BBM jatah besok sudah dipakai hari ini."

Bila listrik tidak nyala sepanjang malam, kami mengobrol dalam gelap, bernyanyi-nyanyi dan bercanda, atau sekedar duduk di depan mess, menikmati bintang dan bulan. Saya mensyukuri semua itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali saya melihat bintang di langit Jakarta.

Dulu saya pasti bersikap sama seperti warga Jakarta yang langsung naik tensi darahnya jika mati lampu tetapi sekarang saya biasa saja, saya tinggal melakukan kegiatan yang tidak menggunakan listrik selama mati lampu, saya tidak mati gaya atau lumpuh, saya justru menggunakan kesempatan itu untuk bersyukur atas listrik yang selama ini ada untuk mempermudah hidup saya.

Begitu juga dengan sinyal. Saat ini peta kebutuhan masyarakat sudah berubah, kebutuhan primer bukan lagi sandang-pangan-papan, melainkan wifi dan charger. Banyak sekali orang kecanduan gadget, gadget harus menempel terus di tangan, gelisah bila batere handphone mulai menipis.

Di Papua, banyak daerah tidak mendapat sinyal, sinyal yang ada pun seringkali tidak stabil. Di kota Bintuni tidak jarang sinyal mati beberapa hari karena maintenance. Satu setengah tahun di sana cukup melatih saya untuk tidak ketergantungan dengan gadget atau sinyal atau charger.

Percayakah Anda jika saya bilang saya bahkan bersyukur akan kemacetan di Jakarta setelah saya kembali dari Teluk Bintuni? Kota Bintuni hanya memiliki satu jalan raya, tanpa lampu merah, semua berbagi jalan tersebut, mulai dari mobil, truk, motor, sepeda, pejalan kaki bahkan anjing dan babi, kadang ular dan kasuari. Saya yang kurang kerjaan pernah menghitung berapa jumlah mobil yang lewat di depan RS dalam waktu 10 menit. Hanya tiga.

Maka bayangkan betapa gembiranya saya ketika saya kembali ke Jakarta, melihat mobil dan motor ramai antri di lampu merah. Lampu-lampu gedung dan mobil gemerlap di malam hari. Indah sekali. Pasti ada yang Kompasianer yang komentar dalam hati "Kamu gak hidup di Jakarta sih, kalau tiap hari harus berjibaku dengan jalanan Jakarta pasti stress juga."

Yah mungkin itu fungsinya kita menjauh barang sejenak dari kesibukan dan kepenatan aktivitas harian yang begitu padat agar kita bisa melihat sisi lain kehidupan, melihat keindahan dari apa yang selama ini kita anggap buruk, kembali aware terhadap apa yang selama ini kita take for granted,untuk bisa bersyukur atas apa yang selama ini kita caci maki.

Saat ini saya bekerja di Sampit. Di sini, hal yang paling menjengkelkan bagi saya adalah kondisi air yang tidak pernah bening. Air PAM maupun sumur di Sampit selalu bercampur tanah, bila cuaca sedang bagus dan air tidak berlumpur atau bila sudah melewati filter pun airnya tetap berwarna, kadang merah, kadang coklat, kadang kuning, kadang hijau. Konon tanah di Sampit dikelilingi oleh satu jenis tumbuhan, yang sampai hari ini saya tidak tahu apa namanya, yang mengubah air tanah menjadi berwarna merah atau coklat.

Jujur saja, saya sering tidak mandi di sini atau lebih memilih mandi dengan air hujan ketika musim hujan seperti ini, karena melihat airnya saja saya sering sudah tidak selera untuk mandi, rasanya malah jadi lebih kotor setelah mandi. Rambut saya rontok parah, kulit saya kering, jerawat merebak di wajah saya, gigi saya bermasalah.

Tapi saya belajar ikhlas, hidup dengan apa yang ada. Suatu hari saya ke Surabaya, menginap di rumah teman saya. Dan saya melihat air begitu jernihnya tertampung di bak mandi rumah teman saya itu. Saya menghela nafas panjang "Syukur kepadaMu Tuhan, begini jernihnya air yang Engkau sediakan untuk hambaMu ini bisa mandi."

Sudahkah hari ini Anda mengambil waktu barang beberapa detik untuk bersyukur atas air mandi Anda? Sudahkah Anda bersyukur atas message yang bisa Anda kirim kepada kolega Anda karena sinyal penuh dan batere sudah terisi sejak tadi malam? Sudahkah Anda bersyukur bisa duduk di atas mobil Anda yang full AC diiringi lagu dari radio dengan segelas kopi di samping menikmati macetnya ibukota ketika berangkat kerja pagi ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun