Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Bersyukur karena Merantau

12 Februari 2018   11:58 Diperbarui: 12 Februari 2018   12:20 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: thesweetestoccasion.com

Percayakah Anda jika saya bilang saya bahkan bersyukur akan kemacetan di Jakarta setelah saya kembali dari Teluk Bintuni? Kota Bintuni hanya memiliki satu jalan raya, tanpa lampu merah, semua berbagi jalan tersebut, mulai dari mobil, truk, motor, sepeda, pejalan kaki bahkan anjing dan babi, kadang ular dan kasuari. Saya yang kurang kerjaan pernah menghitung berapa jumlah mobil yang lewat di depan RS dalam waktu 10 menit. Hanya tiga.

Maka bayangkan betapa gembiranya saya ketika saya kembali ke Jakarta, melihat mobil dan motor ramai antri di lampu merah. Lampu-lampu gedung dan mobil gemerlap di malam hari. Indah sekali. Pasti ada yang Kompasianer yang komentar dalam hati "Kamu gak hidup di Jakarta sih, kalau tiap hari harus berjibaku dengan jalanan Jakarta pasti stress juga."

Yah mungkin itu fungsinya kita menjauh barang sejenak dari kesibukan dan kepenatan aktivitas harian yang begitu padat agar kita bisa melihat sisi lain kehidupan, melihat keindahan dari apa yang selama ini kita anggap buruk, kembali aware terhadap apa yang selama ini kita take for granted,untuk bisa bersyukur atas apa yang selama ini kita caci maki.

Saat ini saya bekerja di Sampit. Di sini, hal yang paling menjengkelkan bagi saya adalah kondisi air yang tidak pernah bening. Air PAM maupun sumur di Sampit selalu bercampur tanah, bila cuaca sedang bagus dan air tidak berlumpur atau bila sudah melewati filter pun airnya tetap berwarna, kadang merah, kadang coklat, kadang kuning, kadang hijau. Konon tanah di Sampit dikelilingi oleh satu jenis tumbuhan, yang sampai hari ini saya tidak tahu apa namanya, yang mengubah air tanah menjadi berwarna merah atau coklat.

Jujur saja, saya sering tidak mandi di sini atau lebih memilih mandi dengan air hujan ketika musim hujan seperti ini, karena melihat airnya saja saya sering sudah tidak selera untuk mandi, rasanya malah jadi lebih kotor setelah mandi. Rambut saya rontok parah, kulit saya kering, jerawat merebak di wajah saya, gigi saya bermasalah.

Tapi saya belajar ikhlas, hidup dengan apa yang ada. Suatu hari saya ke Surabaya, menginap di rumah teman saya. Dan saya melihat air begitu jernihnya tertampung di bak mandi rumah teman saya itu. Saya menghela nafas panjang "Syukur kepadaMu Tuhan, begini jernihnya air yang Engkau sediakan untuk hambaMu ini bisa mandi."

Sudahkah hari ini Anda mengambil waktu barang beberapa detik untuk bersyukur atas air mandi Anda? Sudahkah Anda bersyukur atas message yang bisa Anda kirim kepada kolega Anda karena sinyal penuh dan batere sudah terisi sejak tadi malam? Sudahkah Anda bersyukur bisa duduk di atas mobil Anda yang full AC diiringi lagu dari radio dengan segelas kopi di samping menikmati macetnya ibukota ketika berangkat kerja pagi ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun