Berita yang mendorong saya untuk menulis artikel ini adalah meninggalnya seorang anak usia 1,5 tahun bernama Winda akibat dianiaya oleh ibu kandungnya di Bekasi. Ini bukan berita pertama yang saya baca mengenai penganiayaan anak oleh orang tua sendiri, saya yakin Kompasianer juga demikian. Tahun 2018 ini saja sudah banyak berita penganiayaan pada anak oleh orang tua sendiri, silakan cek di Google, padahal ini baru memasuki bulan Februari.
Juga belum terhapus dari ingatan kita beberapa tahun lalu kita kehilangan seorang Angeline di Bali akibat dianiaya oleh ibu angkatnya sendiri. Saat itu masyarakat seakan sangat marah dengan tindakan Margriet Megawe, ibu angkat Angeline. Tetapi nyatanya itu hanya kehebohan sesaat, belum banyak yang kita lakukan (termasuk saya) untuk membuat negara kita lebih aman untuk anak-anak. Saat ini Margriet Megawe sudah mendekam di penjara untuk membayar perbuatannya. Sementara kematian Winda masih dalam proses penyelidikan.
Data dari KPAI menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2017 terdapat 2.737 kasus yang dilaporkan, menghasilkan 2.848 korban yang 52 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual disusul kekerasan fisik sebanyak 30 persen (825 kasus), kekerasan psikis 17 persen (477 kasus), dan kekerasan bentuk lainnya sebanyak 11 kasus atau 1 persen.
Pada paragraf lainnya KPAI lebih banyak membahas mengenai kekerasan seksual pada anak. Entah karena lebih berfokus pada kekerasan seksual yang lebih mendominasi, sementara kekerasan fisik "hanya" peringkat kedua, atau mungkin dibahas pada artikel yang terpisah, hanya saja saya tidak menemukan artikelnya.
Data selanjutnya dari KPAI menyebutkan bahwa dari segi usia 110 anak berada di rentang usia 0-5 tahun (4 persen), 1.629 anak pada usia 6-12 tahun (57 persen), serta 1.109 anak pada rentang usia 13-18 tahun (39 persen). Berarti kekerasan pada anak paling banyak terjadi pada rentang usia sekolah dasar.
Jangan berhenti berpikir dulu! Kita ingat bahwa data ini hanya berdasarkan laporan yang masuk ke KPAI. Berapa banyak kekerasan pada anak yang tidak dilaporkan?Â
Saya tidak heran bila data kekerasan pada balita berada di peringkat buntut karena banyak anak balita belum bersekolah, mereka masih diasuh di rumah, tidak banyak interaksi dengan orang luar selain orang tua yang ada dalam rumahnya, belum tahu apa yang dimaksud dengan kekerasan, tidak bisa mengadu, tidak banyak orang dewasa lainnya yang mau repot mengadu. Seandainya data ini diambil dengan cara survey pun tetap akan menghasilkan angka yang sama, karena sulit bagi surveyor untuk mewawancara anak balita, orang tua yang mengasuh tentu tidak akan mengaku bila mereka menganiaya anak mereka. Maka data kekerasan pada balita selalu hanya berupa data semu. Kita baru mencatat ketika anaknya sudah meninggal. Betapa terlambat!
Juga belum ada statistik yang menampilkan data demografik pelaku kekerasan pada balita. Hanya dikatakan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan pada anak adalah orang terdekat, yaitu: orang tua kandung, tiri, orang tua angkat, kerabat keluarga, kekasih dari orang tua, guru, pengasuh dan tetangga. Tetapi tidak ada data lebih detail misalnya: berapa usia pelaku, bagaimana status pernikahan pelaku, apakah itu pernikahan berdasarkan pilihan sendiri atau perjodohan, berapa anak yang pernah dimiliki sebelumnya, dll.
Saya pribadi melihat bahwa banyak kasus kematian balita akibat kekerasan dari orang tua terjadi pada pasangan muda, pasangan yang belum siap merawat seorang anak. Mereka jengkel karena anak selalu rewel dan menangis sehingga mereka kehilangan akal kemudian menganiaya anak mereka. Pada saat berita ini muncul di media sosial ada netizen yang berkomentar "Gini nih, kalo cuma tahu bikin, tapi ga tau ngerawatnya." Ada benarnya juga.
Setiap orang yang memutuskan untuk menikah seharusnya sudah bisa mengantisipasi kehadiran seorang anak maka informasi dan wawasan seputar merawat anak seharusnya sudah dipahami saat persiapan pernikahan. Masalahnya, negara kita masih terpasung oleh stereotype mengenai usia berapa orang seharusnya sudah menikah, berapa tahun sesudah pernikahan pasangan harus sudah mempunyai anak, berapa jumlah anak yang ideal dalam keluarga. Dan kita tidak segan-segan untuk menyampaikan stereotype yang melumpuhkan ini kepada orang lain.
Semakin besar tekanan pada seseorang untuk segera menikah, akan semakin besar kemungkinannya dia menikah tanpa kesiapan mental yang mumpuni. Selanjutnya kita berikan tekanan untuk segera memiliki anak, maka akan semakin besar lagi kemungkinan dia lebih tidak siap mental untuk merawat anaknya. Dan akan semakin banyak kita dengar balita-balita tewas di tangan orang tua yang tidak siap ini.
Pepatah barat mengatakan "It takes a village to raise a child", belakangan UNICEF menambahkan "It takes a village to protect a child", saya ingin menambahkan khusus untuk warga Indonesia "It takes a village to kill a child."
Mungkin, Winda tewas karena kita. Kita yang sering menekan orang tuanya bahkan sebelum Winda dilahirkan. Kita sering menekan orang tuanya tentang cara-cara terbaik menurut kita untuk merawat Winda, tetapi ketika Winda berteriak-teriak kesakitan dari dalam rumah, kita diam saja. Ketika kita melihat ada memar dan luka di tubuh dan wajah Winda saat dia bermain, kita tidak melakukan apa-apa. Â Â
---------------------------------------------------------------------------
Bagi Kompasianer yang tertarik dengan topic ini bisa mengunjungi situs pelindunganak.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H