Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Kasus Pelecehan Anak oleh Babeh dan Larry Nassar

24 Januari 2018   13:06 Diperbarui: 25 Januari 2018   14:51 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolresta Tangerang Kombes Sabilul Alif saat memeriksa Babeh, pelaku sodomi 25 anak di Tangerang.(Dokumentasi Polresta Tangerang)

Saya mau mengajak Kompasianer semua untuk menilik lebih dalam dua kasus besar pelecehan seksual pada anak yang baru-baru ini terjadi. Kasus pertama adalah yang dilakukan oleh Babeh, seorang guru di Tangerang yang mencabuli 25 orang muridnya. 

Kapolresta Tangerang Kombes Sabilul Alif saat memeriksa Babeh, pelaku sodomi 25 anak di Tangerang.(Dokumentasi Polresta Tangerang)
Kapolresta Tangerang Kombes Sabilul Alif saat memeriksa Babeh, pelaku sodomi 25 anak di Tangerang.(Dokumentasi Polresta Tangerang)
Saat ini Babeh masih menunggu proses pengadilan. Kasus kedua adalah Larry Nassar, seorang dokter dari tim medis olimpiade bidang gimnastik di Michigan, Amerika Serikat yang mencabuli 125 anak di bawah umur selama 30 tahun karirnya. Kasusnya sedang berjalan di pengadilan dan jumlah korbannya masih bertambah.

Dari kedua kasus ini kita melihat bahwa kasus pelecehan seksual pada anak tidak berjalan singkat dan tidak memakan hanya 1 korban. Untuk mencabuli 25 anak dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi lebih dari 125 anak. Bagaimana ini bisa terjadi?

Anak-anak seringkali tidak menceritakan pelecehan yang pada mereka karena beberapa hal:

  • Pelaku mengancam korban
  • Anak tidak tahu bahwa mereka sedang dicabuli
  • Anak takut dengan orang tuanya
  • Cerita mereka tidak dipercayai
  • Anak mempercayai/menyayangi/menghormati pelaku

Dari kelima poin ini saja kita seharusnya menyadari betapa banyaknya kesalahan pandangan kita akan kasus pelecehan anak.

Data di Amerika Serikat menyebutkan:

  • 90% anak korban pelecehan seksual mengenal pelaku
  • 60% pelaku adalah orang yang dipercaya oleh anak dan keluarga (contoh: guru atau dokter keluarga)
  • 30% di angka di atas adalah anggota keluarga sendiri

Berdasarkan data ini maka ajaran orang tua agar anak tidak berbicara dengan orang asing patut dipikirkan ulang karena hanya 10% kasus pelecehan seksual pada anak yang dilakukan oleh orang asing. Orang tua justru harus lebih waspada dengan orang yang dikenal dan dipercaya bahkan dengan anggota keluarga sendiri.

Di sinilah komplikasinya. Karena anak mengenal, menyukai, memercayai, menghormati bahkan menyayangi pelaku, anak jadi lebih mudah diperdaya. Anak mungkin belum memahami area tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang sembarangan dan mereka jelas belum tahu bahwa yang dilakukan pada mereka adalah pencabulan.

Anak diperdaya bahwa apa yang dilakukan pelaku adalah hal yang perlu dilakukan karena pelaku menyayangi korban, dan bila korban juga menyayangi pelaku maka korban harus patuh dan tidak menceritakannya pada orang lain.

Tentu saja seorang anak kecil segera jatuh ke dalam trik manipulasi ini.

Saya sayang dengan Om A, dia baik sekali, kalau saya nurut dia akan belikan mainan. Saya merasa tidak nyaman bahkan kesakitan bila dia melakukan itu, tetapi kalau saya nakal dan mengadu nanti dia kena masalah dan saya tidak mau tidak kena masalah karena saya menyayangi dia.

Bagaimana kita bisa meluruskan pikiran anak yang sudah dimodifikasi seperti ini?

Pelaku menanamkan definisi yang salah tentang kasih sayang kepada korban. Belum lagi, bila korban ditakut-takuti bahwa ia akan dimarahi orang tuanya bila bercerita. 

Dan terbukti, cerita anak sering tidak dihiraukan, disepelekan bahkan tidak dipercaya. Anak jadi merasa bahwa orang tua berada di pihak yang berseberangan dengan mereka, maka selanjutnya mereka tidak akan bercerita lagi karena mereka jadi lebih percaya pada pelaku, apa yang dikatakan pelaku terbukti benar. 

Orang tua lebih memercayai pelaku daripada anaknya sendiri, "Anak-anak tahu apa, mereka cuma ngoceh sembarangan, saya tahu si A, orangnya baik sekali. Saya harus mendidik anak saya supaya mereka tidak menuduh orang sembarangan dan menyebar fitnah. Memalukan." Bagaimana kita meluruskan pikiran orang tua yang seperti ini?

Mengapa tidak cukup satu cerita?

Mengapa tidak cukup satu anak yang jadi korban?

Mengapa tidak cukup hanya satu kali kejadian saja?

Sebagai orang tua kita harus belajar untuk mendidik anak kita dengan lebih baik, bukan untuk bersikap tidak ramah pada orang asing tetapi agar mereka memahami dirinya sendiri, bisa menjaga dirinya dan tahu apa yang harus dilakukan bila ada batasan diri mereka yang dilanggar. 

Anak-anak harus tahu bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang sembarangan oleh orang lain, tindakan-tindakan seperti apa yang membuat dia tidak nyaman, dan bagaimana dia harus menceritakan kepada orang tuanya. 

Lebih penting lagi, kita harus bisa mendidik diri kita sendiri untuk lebih peduli dan percaya pada cerita anak-anak kita, menekankan kewajiban kita sebagai orang tua untuk melindungi mereka.

Anak-anak korban pelecehan Larry Nassar semua bersaksi di persidangan, saat ini mereka sudah dewasa. Mereka bersaksi dengan sangat emosional bahkan banyak yang menangis seakan-akan kejadiannya baru terjadi kemarin.

Larry Nassar yang merasa sedih setelah mendengar kesaksian banyak korbannya. Ia harus melanjutkan sisa hidupnya di dalam penjara. thesun.co.uk
Larry Nassar yang merasa sedih setelah mendengar kesaksian banyak korbannya. Ia harus melanjutkan sisa hidupnya di dalam penjara. thesun.co.uk
Sejak kejadian itu ada yang mengalami depresi, gangguan kecemasan, serangan panik, post traumatic stress disorder, pikiran bunuh diri, dll. Salah satu korbannya bernama Nicole Walker menceritakan bagaimana dia mengalami serangan panik ketika dia mengantarkan anaknya berobat ke dokter dan dokter meminta dia membuka celananya untuk memeriksa hernianya.

Pelecehan seksual pada anak bukan seperti batuk pilek, yang langsung sembuh setelah minum obat. Banyak yang akhirnya tidak pernah mencapai pemulihan bahkan sampai dia meninggal, seperti Dolores O'Riordan, yang terus berjuang dengan depresi dan gangguan bipolar akibat pelecehan seksual yang dialaminya selama masa anak-anak. Waktu terbukti tidak bisa menyembuhkan.

Mari mengubah paradigma kita mengenai pelecehan seksual pada anak: SATU ANAK SUDAH TERLALU BANYAK!

Referensi: www.d2l.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun