Pada pertengahan tahun 2016 saya mengalami suatu kejadian yang boleh dikatakan merubah pandangan saya tentang kehidupan. Saya mengalami suatu kondisi kegawatdaruratan medis yang disebut dengan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET). Saya tidak ingin berlaku sebagai seorang dokter, memberikan penjelasan medis mengenai apa itu KET karena mengenai hal itu dapat dengan mudah Anda cari di Google. Saya lebih ingin menceritakan sebagai pasien, apa yang terjadi ketika seseorang mengalami KET.
Kira-kira 2 minggu sebelum "hari besar" terjadinya KET itu saya masih haid pada jadwal yang seharusnya, hanya saya kualitas dan kuantitasnya yang tidak normal. Haid saya hanya berupa flek yang cukup banyak, bukan berupa darah dan berlangsung selama 10 hari, biasanya hanya 5 hari. Tetapi kesalahan saya adalah saya meremehkan kondisi ini, saya tidak ambil pusing, saya anggap saya hanya sedang kelelahan karena memang pada waktu itu saya sedang sangat sibuk sekali mengurus rencana keberangkatan saya keliling Eropa Timur.
Akhirnya, hal mengerikan itu terjadi saat saya sudah berangkat dan sedang berada di Polandia. Satu hal yang utama saat mengalami KET adalah sakitnyaaa mamaaa, RUAR BIASA! Saya mungkin selama ini menganggap diri saya adalah wanita kuat, tegar dan tahan banting, tetapi menghadapi rasa sakit saat KET membuat saya mempertanyakan kembali kekuatan diri saya. Rasa sakit ada di perut bawah, tidak bisa saya tunjuk dengan pasti di sebelah mana, pokoknya di bagian bawah. Sakit terasa seperti mules hendak BAB tetapi kemudian disertai dengan kepala pusing melayang seperti mau pingsan, mual dan muntah, seluruh badan rasanya lemas sekali.
Saya segera langsung minta diantar ke RS karena saya tahu telah terjadi hal yang sangat tidak beres pada diri saya. Penanganan medis di Polandia agak sedikit rumit mengingat saat itu sedang ada acara berskala internasional di sana dan saya juga tidak mengetahui kondisi dan prosedur RS di sana. Yang bisa saya simpulkan adalah masih lebih baik pelayanan medis di Indonesia. Seandainya sistem pelayanan kesehatan terutama UGD seperti yang ada di Polandia, terjadi di Indonesia, pasti sudah menjadi headlines di semua media yang semuanya berisi hujatan.
Saya berangkat ke RS jam 8 pagi waktu setempat, dirujuk ke RS yang lebih besar (RS pendidikan), dilakukan serangkaian prosedur pemeriksaan yang berbelit-belit, sempat pingsan 1x, jatuh dalam kondisi syok (tekanan darah sudah tidak terukur) sampai pada akhirnya saya baru mulai dioperasi pukul 3 sore. Selama 7 jam saya harus menahan sakit, mual dan rasa melayang-layang, pindah dari kursi ke brankar ke kursi roda ke bed pasien ke kursi roda lagi ke bed lagi, dst. Saya mengulangi menceritakan gejala-gejala yang saya alami sampai 4x kepada 4 dokter yang berbeda, perawat tidak mengerti satu pun bahasa Inggris yang saya katakan. Saya ditusuk jarum infus sampai 7x karena pembuluh darah saya mulai kolaps.
Direncanakan saya akan menjalani laparoskopi terlebih dahulu, apabila laparoskopi tidak bisa membersihkan semua darah yang sudah mengumpul di perut saya, maka akan dilakukan laparotomi. Saat dioperasi , saya dibius total jadi saya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Pukul 6 sore saya sudah keluar dari ruang operasi dipindah ke Recovery Room, tidak ada luka besar melintang vertikal di perut saya, oh syukurlah, berarti laparoskopinya berhasil, saya tidak perlu laparotomy karena proses penyembuhan laparotomi jauh lebih lama sementara saya masih harus melanjutkan perjalanan saya ke beberapa negara lain. Setelah saya stabil baru pindah ke ruangan rawat inap. Tidak ada satu pun orang yang boleh menemani saya di ruangan selepas jam 10 malam padahal saya ditempatkan di ruangan kelas 1.
Total hanya 3 malam saya menginap di RS. Hari kedua, infus dan kateter saya dilepas. Hari ketiga, selang drain dari bekas luka operasi saya dilepas. Hari keempat saya sudah bisa keluar dari RS. Saya hanya mendapat 3 bekas luka operasi, 1 di pusat, 2 di area pubis saya sebelah kanan dan sebelah kiri, semuanya tidak lebih dari 1cm panjangnya.Â
Saya hanya sangat sangat bersyukur bahwa saya masih hidup setelah melewati ini semua, bisa membagikan cerita saya kepada Anda semua dan saya tidak membayar sepeserpun biaya operasi dan RS karena saya adalah peserta resmi dari acara istimewa di Krakow itu dan keadaan saya adalah gawat darurat sehingga semua biaya pengobatan ditanggung oleh penyelenggara acara. Saya hanya membayar 40 Zloty Poland (kira-kira Rp 200.000,-) untuk antibiotik dan penambah darah yang diresepkan dokter untuk dibawa pulang.
Saya ingin mengingatkan kepada perempuan-perempuan Indonesia, Anda yang paling mengetahui kondisi tubuh Anda. Anda yang bisa merasakan bila ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada tubuh Anda. Sebelum semuanya terlambat atau menjadi terlalu sulit untuk diatasi, segeralah periksakan kesehatan Anda. Tidak ada ruginya, tidak ada salahnya.Â
Jangan takut ada apa-apa atau ada penyakit-penyakit yang mengerikan, justru segera diketahui bisa segera diatasi, karena Anda tidak pernah tahu, bisa jadi nyawa Anda taruhannya. Apa saya pernah menyangka, ketidakwajaran pada haid saya yang baru terjadi 1x ternyata bisa berakibat fatal seperti ini? Hanya karena kebaikan Tuhan saya masih hidup saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H