Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Indonesia Darurat "Bullying" (4), Meramal Masa Depan Korban

10 Desember 2017   14:24 Diperbarui: 10 Desember 2017   14:27 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Melalui artikel-artikel sebelumnya, kita sudah mendapat gambaran dasar mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam bullying, dari sisi pelaku maupun sisi korban. Saya harap setelah membaca artikel-artikel saya sebelumnya, kesadaran kompasianer mengenai bullying sudah lebih meningkat. Kali ini saya akan menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang dapat diprediksikan terjadi dalam kehidupan  korban bullying, khususnya dalam aspek kesehatan fisik dan psikis. Semoga dengan mengedepankan hal-hal ini kita semakin tergerak untuk menganggap bullying sebagai suatu urgensi yang akan mencederai generasi muda kita bila tidak segera diatasi.

Menggunakan kata 'meramal' pada judul mungkin akan membuat saya terdengar arogan dan seakan-akan punya kuasa menentukan kehidupan orang lain. Jalan kehidupan setiap orang tentunya unik dan berbeda, tidak bisa digeneralisasi. Ada korban bullying yang bisa hidup bahagia, ada yang tidak, ada orang yang tidak pernah dibully tetapi hidupnya tidak bahagia, tapi ada juga yang bahagia. Semuanya kembali pada pengaturan dari Yang Di Atas. Tetapi yang saya sampaikan dalam artikel ini adalah fakta-fakta berdasarkan penelitian terstruktur yang menggambarkan adanya korelasi antara beberapa fenomena hidup seseorang di masa dewasa dengan kejadian bullying di masa sekolahnya.

Dalam artikel sebelumnya, saya sudah menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang terjadi dalam tubuh dan otak manusia ketika mengalami bullying. Masa depan yang ingin kita prediksi dari korban masih berhubungan erat dengan mekanisme tersebut, yaitu berhubungan dengan hormon kortisol, prefrontal cortex, amygdala, dll.

Korban bullying, akibat stress berulang dalam kesehariannya memproduksi kortisol jauh lebih banyak, beriringan dengan produksi norepinefrin, yang juga adalah hormon stres. Peningkatan hormon stress dalam periode waktu tertentu membuat seseorang menjadi cemas, depresif, mudah curiga dan negative thinking. Ditambah lagi dengan isolasi yang dilakukan oleh pelaku membuat korban merasa tidak berdaya karena tidak ada yang menolong, akhirnya korban semakin memilih untuk tidak melawan, mematuhi pelaku bahkan sampai melanggar nilai-nilai hidup mereka sendiri demi berharap bisa keluar dari situasi tersebut suatu hari nanti, misalnya: dia diminta untuk memakan kotoran binatang.

Semakin korban terjebak dalam situasi seperti ini, semakin korban merasa malu dengan perlakuan yang mereka terima, malu karena merasa diri lemah, mereka kemudian cenderung menyalahkan diri mereka sendiri "Saya diperlakukan seperti ini karena memang saya gendut, saya jelek, saya tidak bisa apa-apa, saya tidak punya teman, saya miskin, dll." Perilaku menyalahkan diri sendiri ini makin membuat mereka depresi dan tidak percaya diri dan justru makin membuat mereka menjadi santapan nikmat bagi pelaku bullying. Hal ini bisa berlanjut terus sampai masa dewasanya di dunia kerja, stress terus berlanjut, kortisol terus diproduksi secara berlebihan. (Schacter, 2015)

Over produksi dari kortisol terbukti mengganggu fungsi memori dan neurogenesis alias pembentuk sel otak baru sehingga membuat anak menjadi kesulitan belajar, prestasi akademisnya makin menurun dan dia akan semakin tidak percaya diri dan semakin dibully. Seringkali orang tua dan guru berpikir bahwa penurunan prestasi akademis ini karena korban kesulitan konsentrasi belajar akibat bullying yang diterimanya, ternyata ada mekanisme biologis di balik terganggunya proses belajar si korban.

Proses ini seharusnya tidak berjalan lama karena akan ada masanya sampai pada suatu titik di mana tubuh akhirnya merasa kelelahan, kelenjar adrenal akhirnya tidak sanggup lagi memproduksi kortisol secara terus-menerus dalam jumlah besar, sehingga berapapun stress yang diterima tidak ada lagi lonjakan kortisol sebagaimana seharusnya. Mungkin ini yang orang sebut dengan kebal atau mati rasa, berapapun stress atau rasa sakit yang diterimanya, ia sudah tidak merasakannya lagi. Terdengar bagus ya, akhirnya korban bisa move on, tidak peduli dengan bullying yang ia terima. 

Ternyata eh ternyata, kondisi kortisol lebih rendah dari normal juga bukan hal yang baik. Kortisol tetap harus ada dalam tubuh manusia dalam jumlah yang seimbang, sedikit peningkatan sekali-sekali untuk menjaga energi tubuh agar manusia tetap bersemangat dalam menjadi hari dan mengatasi permasalahan yang ada. Kondisi kortisol jauh di bawah normal membuat kita akan selalu merasa lemas, tulang-tulang terasa sakit, pencernaan dan metabolisme tidak lancar, dll.

 Singkatnya, kadar kortisol tinggi sepanjang waktu tidak baik untuk kesehatan jangka panjang, sebaliknya kortisol terlalu rendah sepanjang waktu juga bisa merusak kesehatan. Belum lagi bila mereka kemudian menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan untuk berusaha mengatasi permasalahan mereka yang sudah menumpuk. Professor Dorothy Espelage dari University of Florida telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa ada korelasi langsung antara bullying dan perkelahian dengan penyalahgunaan obat terlarang terutama pada anak laki-laki (Espelage, 2014). Apapun yang terjadi, bisa dipastikan korban bullying akan memiliki permasalahan kesehatan baik fisik maupun mental di masa depan dan penurunan usia harapan hidup bila stresnya tidak segera diatasi.

Ah, tapi kan gak semuanya bakal sesuram itu masa depannya! Iya betul juga. Seperti saya bilang di paragraf awal, tidak bisa digeneralisasi. Lalu ada pertanyaan selanjutnya, kenapa ada anak korban bullying yang menjadi orang dewasa yang bermasalah, sementara ada yang tidak? Ternyata ada penjelasan ilmiah atas pertanyaan tersebut. Hal ini terkait dengan variasi bentuk gen transporter serotonin.

Serotonin adalah hormone dalam tubuh kita yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mood stabilizer. Kekurangan serotonin dianggap dapat menyebabkan depresi, dan depresi diatasi dengan memberikan obat yang meningkatkan serapan serotonin dalam tubuh.

Orang dengan 'lengan' yang pendek (yang saya maksud sebenarnya adalah 'alel' tapi saya sulit menjelaskan apa itu 'alel') pada gen transporter serotonin memiliki kecenderungan 3x lipat untuk menjadi depresi ketika dewasa setelah mengalami bullying pada masa kecilnya. Sebaliknya orang dengan 'lengan' yang panjang pada gen transporter serotonin tidak memiliki menjadi depresi saat dewasa meskipun sama-sama mengalami bullying. Hal ini bisa terjadi karena gen yang berlengan pendek ini membuat orang mempelajari rasa takut dengan lebih cepat dan menyimpan memori rasa takut tersebut lebih lama di prefrontal cortex. (Caspi, 2002)

Tetapi jangan langsung senewen dan khawatir dulu! Orang dengan gen transporter serotonin berlengan pendek bukan langsung dijamin pasti akan jadi depresi juga di masa dewasanya. Karena ada penelitian lain yang melegakan kita yang menyatakan bahwa faktor resiko genetik tersebut tidak akan termanifestasi atau terekspresikan bila lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang diberikan kepada anak dalam masa pertumbuhannya (Shen, 2000). Dengan kata lain, faktor lingkungan yang positif memiliki efek yang lebih signifikan daripada sekedar gen.

Oleh karena itu, meskipun sejuta peneliti memprediksi masa depan yang suram dari anak korban bullying tetapi masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah masa depan itu. Anak-anak korban bullying sudah terlalu pusing mengatasi permasalahan hari ke hari, mereka bisa jadi tidak menyadari apa yang menghadang mereka di masa depan, kalau mereka masih sempat memikirkan soal masa depan. Maka marilah kita sebagai orang dewasa yang membantu mereka bebas dari permasalahan itu dan meraih masa depan yang lebih cerah. 

Referensi:

Caspi, A., McClay, J., Moffitt, T.E., Mill, J., Martin, J., Craig, I.W., Taylor, et al (2002). Role of Genotype in the Cycle of Violence in Maltreated Children. Science 297:851-854.

Espelage, D. L., Low, S., Rao, M. A., Hong, J. S. and Little, T. D. (2014), Family Violence, Bullying, Fighting, and Substance Use Among Adolescents: A Longitudinal Mediational Model. J Res Adolesc, 24: 337--349. doi:10.1111/jora.12060

Shen, S., Battersby, S., et.al. (2000). Refined mapping of the human serotonin transporter (SLC6A4) gene within 17q11 adjacent to the CPD and NF1 genes. European Journal of Human Genetics 8:75-78.

Schacter, Hannah L., Samantha J. White, Vickie Y. Chang & Jaana Juvonen (2015) "Why Me?": Characterological Self-Blame and Continued Victimization in the First Year of Middle School, Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 44:3, 446-455

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun