Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gagal Paham Bangsa Kita tentang Privasi

27 November 2017   12:01 Diperbarui: 27 November 2017   17:08 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hobi sekali menonton TV, setiap kali ada waktu senggang pasti saya habiskan dengan menonton TV, bahkan mungkin saya bisa dikategorikan sebagai orang yang kecanduan menonton TV. Dari sekian banyak kanal TV yang saya tonton, lokal, nasional, maupun luar negeri. ada satu hal yang cukup meresahkan bagi saya dan juga mungkin bagi sebagian masyarakat, yaitu mengenai porsi acara infotainment di TV Indonesia. Saya rasa jumlah dan kualitas acara infotainment di Indonesia sudah melewati batas kewajaran. 

Acara TV pagi sampai siang hari menghadirkan infotainment yang dapat bersambung-sambung dari 1 kanal ke kanal lainnya. Bahkan acara infotainment paling pagi sudah dimulai sejak pukul 5.30 WIB! Bayangkan, rasanya baru buka mata sudah menonton kehidupan orang lain, mungkin sebagian lain baru selesai sholat subuh sudah disuguhi aib orang lain.

Saya tidak mau 100% menyalahkan pihak stasiun TV dalam permasalahan ini karena stasiun TV tentunya menyusun dan menyajikan acara yang disukai masyarakat, dinilai akan memberikan rating yang signifikan untuk membawa pemasukan bagi perusahaan mereka. Salah satunya adalah infotainment. Berita mengenai artis pasti sangat disukai oleh masyarakat apalagi bila ditambahi dengan bumbu-bumbu drama, konflik, intrik, dsb sehingga stasiun TV tidak akan mengesampingkan infotainment begitu saja. 

Jadwal acara infotainment sudah disesuaikan dengan kebiasaan sehari-hari ibu-ibu yang merupakan penonton utamanya. Saya tidak tahu juga berapa persentase bapak-bapak, anak-anak, remaja dan lansia yang senang menonton infotainment, tetapi yang pasti infotainment sudah menjadi makanan sehari-hari bagi bangsa kita. Dan jangan lupa juga dengan infotainment dari media lain seperti instagram, facebook, dll.

Mengapa ini bisa terjadi? Fenomena apakah ini? Bagaimana bisa 1 bangsa begitu ingin tahu dengan kehidupan orang lain alias kepo? Yang saya perhatikan, sikap kepo ini tidak hanya berlaku untuk para artis saja tetapi juga berlaku untuk masyarakat biasa. Senangnya ibu-ibu bila bergosip mengenai orang lain, sambil belanja sayur, sambil menyuapi anak, sambil arisan. Bila kita introspeksi, berapa banyak waktu kita habiskan sehari untuk mengurusi hidup orang lain, stalking media sosial orang lain, membicarakan tingkah laku orang lain? Adakah hal-hal tersebut membawa manfaat bagi hidup kita? Nyamankah bila kita yang menjadi topik gossip dan kehidupan kita diumbar kesana kemari?

"Loh tapi dia sendiri yang masukin ke sosmed kok, berarti dia mau dilihat orang." Nah saya rasa disitulah salahnya. Kita semua lupa atau mungkin lebih tepatnya tidak paham dengan apa yang namanya PRIVASI. Privasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kebebasan; keleluasaan pribadi. Sementara menurut Wikipedia kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggris: privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk menutup atau melindungi kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Kalau boleh saya mengambil kesimpulan, privasi artinya kebebasan seseorang mengatur arus informasi mengenai diri mereka.

Setiap orang berhak memberitahukan kepada public hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka, sebaliknya setiap orang juga berhak untuk tidak menyampaikan hal-hal mengenai dirinya yang mereka tidak ingin orang lain ketahui. Dan bila orang tersebut tidak ingin menyampaikan mengenai hal-hal tertentu, orang lain tidak boleh marah, tidak boleh tersinggung, tidak boleh mengobrak-abrik barang-barang pribadi orang tersebut untuk mengumpulkan informasi, tidak boleh berasumsi apalagi membuat cerita sendiri, termasuk tidak boleh berbisik-bisik kepada orang lain mengenai hal tertutup tersebut, apalagi memvideo lalu menyebarkannya ke sosial media. 

Contohnya seperti yang baru-baru ini terjadi terhadap pasangan muda yang digrebek di kosnya lalu ditelanjangi, divideo dan disebarluaskan videonya ke media sosial. Atau yang terjadi pada seorang wanita muda yang pergi ke apotek tanpa menggunakan pakaian, ramai-ramai orang merekam kondisinya tanpa busana, belakangan diketahui dia menderita penyakit kejiwaan. Di mana privasi? Di mana kemanusiaan?

Garis batas mengenai privasi belum digambar dan dipahami dengan jelas oleh bangsa kita. Hal-hal mana saja yang boleh dan perlu disampaikan atau diumbar ke public dan hal-hal mana saja yang tidak perlu menjadi konsumsi orang lain, semuanya samar dan abu-abu. Setiap orang tidak punya standar yang sama mengenai batas-batas privasi. 

Ada yang menganggap kegiatan pribadi tidak perlu diketahui orang sekitar, tetapi ada yang menganggap sangat perlu diumbar demi eksistensi, ada menganggap kamarnya adalah ruang privat, ada yang santai saja kamarnya dimasuki oleh orang asing, ada yang ingin hari-hari besar dalam hidupnya hanya diketahui oleh orang terdekat, ada yang ingin menyampaikannya ke seluruh dunia. Semuanya kembali pada kebebasan masing-masing.

Tetapi bagi saya, ada 1 garis yang perlu digambar tegas oleh masyarakat kita mengenai privasi. Apabila sudah ada tindakan-tindakan yang melanggar hukum, hal tersebut harus masuk ke ruang public, tidak bisa lagi dilindungi oleh garis privasi. Contoh yang paling nyata adalah KDRT. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dekat sudah merupakan suatu pelanggaran hukum karena KDRT sudah ada UU nya (UU no. 23 tahun 2004). Tidak bisa lagi korban mengatakan bahwa ini adalah urusan rumah tangganya, privasinya. Tidak bisa lagi masyarakat pura-pura tidak tahu dan menutup mata dengan alasan itu urusan rumah tangganya, privasi mereka. Tindakan yang melanggar hukum harus masuk ke ruang public.

Bagi saya aneh, bila masyarakat yang sangat senang mengurusi kehidupan orang lain justru tiba-tiba diam saja ketika melihat ada tetangganya yang babak belur setelah semalam terdengar keributan dari rumahnya. Aneh bila masyarakat hanya menonton ketika melihat seseorang yang mereka kenal sedang ditarik rambutnya, diseret ke jalan oleh suaminya. Aneh bila masyarakat yang hobi menonton intrik kehidupan artis yang tidak ada hubungannya dengan mereka justru tidak mau melihat kenyataan kekerasan yang dialami oleh orang yang mereka kenal.

Bangsa kita masih harus banyak belajar mengenai privasi dan batas-batasnya, beriringan dengan belajar mengenai hal-hal lainnya. Revolusi mental harus terjadi demi terciptanya Indonesia yang aman dan minim infotainment bagi seluruh rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun