Kring-kring. . .
Telepon dari Om Dedy mengagetkanku, dan memalingkan perhatianku dari wajah pria tampan yang kulihat sekilas dari frame yang terletak diatas meja Willy
“hallo Om”
“gimana Jean, udah liat ruangannya?”
“iya Om, ni lagi liat-liat soalnya anak Om belum datang juga”
“oh ya Jean, Om harus ketemu rekan bisnis Om dulu, kamu Om tinggal ya”
“rekan bisnis siapa sih Om?”
“nanti juga pasti kamu kenal Jean, soalnya dia akan bekerja sama dengan Hotel kita”
“ya udah Om, hati-hati deh”
Aku kembali ke meja ku dan menatap layar komputer yang baru saja kunyalakan, melihat lihat apa saja isinya lalu membaca satu-persatu berkas-berkas pekerjaan yang nantinya akan kukerjakan. Hmmmm, untung saja ada kursus itu kalau gak, tau apa aku soal komputer? Yang ku tau hanya layar LCD besar yang biasanya digunakan untuk karaoke. Berjam-jam aku menghabiskan waktuku didepan komputer, aku baru teringat kalau si Bos ku belum datang juga, kemana ya dia? Sementara akupun belum mengenal wajahnya. Tiba-tiba seorang pelayan membukakan pintu ruangan
“Trima kasih”
“sama-sama Pak Willy”
Aku tercengang seketika, pelayan itu menyebut nama Pak Willy, berarti. . .
“kamu, siapa kamu? Sedang apa diruanganku? Lily mana?”
“ah, maaf Pak, saya Jeannete sekretaris baru anda”
“sekretaris baru?” jawabnya ketus, sambil menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut lalu balik lagi
“iya Pak saya baru mulai bekerja hari ini”
“tolong panggilkan Lily kesini”
“baik Pak” aku keluar dan berjalan kearah ruangan Om Dedy untuk memanggil Lily
Tanpa mengetok pintu aku langsung mendorong pintunya begitu saja, dan sial pintunya terkunci, aku baru teringat kalau Lily pasti pergi bersama Om Dedy bertemu rekan bisnisnya. Ah, jantungku berdegup kencang, bagaimana menghadapi anak Om Dedy yang terlihat tak menginginkan kehadiranku itu? Dan saat aku mau membukakan pintu kudengar pembicaraan Willy di telepon
“aku gak suka deh cara Papa ini, kenapa sih Lily harus diganti? Dia kan lebih tau segalanya tentang kesibukanku Pa”
Sepertinya dia memang tak menyukai kehadiranku sebagai sekretarisnya, saat mau menarik pintu yang masih setengah terbuka itu ternyata Willy sudah mengetahui keberadaanku disana”
“masuk! ya sudah Pa kita bicara lagi nanti”, “siapa nama kamu tadi?”
“Jeannnete Pak”
“koq kamu bisa masuk kesini? Kamu kenal sama Pak Dedy?”
Oh My God, aku harus jawab apa? Jantungku berdegup kencang seolah ingin melompat keluar, tapi untung saja aku tertolong karena tiba-tiba Handphonenya berbunyi. Thanks God, aku tertolong untuk saat ini, dan semoga saja pertanyaan itu takkan pernah muncul lagi
“kamu sudah liat jadwal aku setelah makan siang ini?”
“sudah Pak”
“baiklah, kita makan siang dulu setelah ini baru kita akan menuju ke tempat meeting”
Kita? Maksudnya aku dan dia makan siang bersama?
“ayo”
“iii,iya Pak, maaf”
Kamipun berjalan menuju lift lalu turun ke Lobi dan makan siang bersama. Untunglah Willy tidak lagi menanyakan asal usulku, dia hanya sibuk menanyakan soal schedule!
*****
Akhirnya, setelah seharian sibuk mengurus Bosku itu sekarang aku bisa berbaring lagi di kamarku. Ternyata begitu ya rasanya nyari uang halal, hmmmm, aku menghela nafas panjang.
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be affraid
I have loved you
For a thousand years
I loved you for a thousand more
Lagu milik Christina Perry itu membuyarkan aku, ya ringing tone berasal dari Handphone ku, sekilas mataku terbelalak melihat nama yang tertulis di layar Handphone ku Willy Calling, ga salah ni?
“darimana saja sih? Kok lama ngangkatnya?”
“maaf Pak, saya ga dengar tadi soalnya Hp saya silent”
“ya udah, malam ini saya ada makan malam sama Putra Pak Willson yang dari Malaysia itu, kamu tau kan?”
“iya Pak saya tau”
“baguslah, 30 menit lagi saya jemput”
“iya Pak”
Aku tergesa-gesa menuju ke kamar mandi dan setelah itu berdandan untuk menemani Bosku itu makan malam bersama kliennya.
“iya Pak nih aku sudah dalam lift”
Dengan setengah berlari aku menuju mobil milik Willy yang dikendarainya sendiri.
“maaf Pak saya terlambat”
Willy hanya bengong menatapku, apa dia marah? Ah perasaan aku belum terlambat kok, katanya kan 30 menit, kulihat arlojiku lagi, hmmm baru 28 menit semenjak Dia telpon
“maaf Pak saya terlambat ya?, Pak Willy, Pak?
“eh, ya sudah cepat masuk”
“iya Pak”
Kamipun berlalu dari apartemenku dan menuju sebuah restoran Hotel mewah. Syukurlah akhirnya sampai juga disana, setelah dari tadi aku tegang karena kulihat diam-diam Willy terus memperhatikanku. Setiba kami disitu kami di sambut oleh seorang pelayan dan mengantarkan kami ke tempat yang telah dipesan khusus untuk dinner bersama klien.
“bagaimana penampilanku Jean?”
“ah, ganteng kok pak?”
“lho kok jadi ngomong tampang? Aku kan nanya soal penampilan?”
Ah, sial aku keceplosan, mukaku memerah menahan rasa malu karna Willy pasti berpikir bahwa aku menyukainya sampai-sampai jadi ngomong kalau dia ganteng.
“ah, uhmmmm. . maksudku kamu terlihat ganteng memakai jas itu, ah kamu, ehm maaf maksud saya Bapak, eh anda Pak Willy” aduh aku jadi salah tingkah
“hahaha, ya sudah akui saja Jean kamu mengagumiku kan? Yah ini bukan pertama kalinya aku di kagumi wanita jadi aku mengerti apa maksud dari pipimu yang merona itu”
Ada apa dengan lelaki ini, setelah beberapa minggu yang lalu dia jutek padaku lalu sekarang mulai menggodaku, dasar, gerutuku dalam hati
“hahaha, masih mikir yah? Kenapa aku tau kalau kamu mengagumiku? Hahaha, Jean, Jean. . ., oh ya mulai sekarang kalau kita hanya sendirian kamu boleh memanggilku dengan sebutan nama saja, ngerasa tua banget kalau di panggil Pak terus, oke?”
“iya Pak, eh maksud saya Willy”
“nah gitu dong, sekarang gak usah resmi-resmi amat kalau sama aku, biasa ajah Jean”
“iya iya, oh ya aku permisi ke toilet sebentar ya Will”
“silahkan, emang ada yang larang, hahahaha, perasaan aku gak megang kaki siapapun deh”
Ternyata dia punya selera humor juga, huffffffft, sambil memandangi wajahku di kaca toilet aku seperti melihat awan gelap yang dulu merundungiku kini perlahan menghilang dan diganti dengan awan cerah, tapi sampai kapan aku menutupi semua masa laluku yang hina itu, bagaimana jika mereka, apalagi Willy tau siapa aku sebenarnya? Semua ini akan menghilang dari genggamanku? Tidak, aku sudah ada di jalan yang benar sekarang dan aku takkan pernah membiarkan seorangpun menghancurkan apa yang telah ku raih ini.
“kamu?”
“Anda, Anda teman Pak Dedy kan? Bu Renna?”
“oh, iya kamu wanita yang sering sama Pak Dedy itu yah, sedang apa disini?”
“saya sedang menemani. .”
“menemani om-om kaya lagi yah? Kamu itu sekertaris atau apanya Pak Dedy sich?”
“maaf siapa saya bukan urusan anda, permisi”
Aku teburu-buru keluar dari situ dan berpikir untuk kabur saja, aku tidak mungkin menemani Willy disitu sementara wanita itu ada disini, bagaimana kalau dia bilang ke Willy bahwa dia pernah melihatku bersama Ayahnya?
“Willy, maaf aku harus segera kembali ke apartemen, soalnya ada telpon penting,
“tapi Jeann”
“maaf ya Will,” aku langsung menutup telponnya dan melangkahkan kakiku secepat mungkin agar tak bertemu wanita itu lagi, saking terburu-burunya hingga aku tak memperhatikan lagi bahwa ada mobil yang melaju kearahku dan tiba-tiba tubuhku terhempas ke jalanan kemudian tak sadarkan diri lagi. . . .
BERSAMBUNG. . . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H