Seluruh dunia kedokteran khususnya civitas akademika Universitas Airlangga tersentak ketika Prof dr Budi Santoso SpOg(K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dikabarkan telah diberhentikan sebagai dekan secara sepihak. Masih belum jelas siapa yang memberhentikan dan apa alasannya pemberhentian mendadak dan tidak lazim tersebut.Â
Prof Bus panggilan akrab dokter ahli obesetri ginekologi ini juga memegang jabatan strategis sebagai ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). AIPKI merupakan asosiasi yang anggotanya adalah seluruh institusi Pendidikan Kedokteran yang ada di Indonesia. Apakah benar dipecatnya dekan FK Unair karena tergilas percepatan roda Omnibus Law Undang undang kesehatan mendekati akhir kepemimpinan nasional?
Demikian strategisnya jabatan Prof Bus, yang membuat beberapa pihak gerah dan panik.  Sehingga  wajar muncul spekulasi pemecatan itu berkaitan dengan penolakannya terhadap upaya Menkes yang akan mendatangkan 6000 dokter asing di Indonesia. Seperti biasa pembelaan seketika muncul, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar meminta agar pemberhentian Budi Santoso tidak dikaitkan dengan Kemenkes.
Mendatangkan 6000 dokter asing
Menkes Budi Gunadi Sadikin yang tidak mempunyai latarbekakang pendidikan kedokteran berdalih bahwa akan mendatangkan 6.000 dokter asing untuk menyelamatkan 16.000 bayi kelainan jantung di Indonesia. ada sekitar 12 ribu bayi di Indonesia memiliki kelainan jantung bawaan. Sementara jumlah dokter yang mampu menangani atau mengoperasi pasien bayi tersebut hanya sekitar 6 ribu, sehingga 6 ribu bayi lainnya berpotensi meninggal dunia karena tidak tertangani dengan baik.
Dalam bidang kedokteran tampaknya alasan ini akan banyak mengundang perdebatan karena tidak ilmiah, tidak logis dan tidak holistik. Â Secara matematika dasarpun tidak masuk logika sederhana , ketika membandingkan 6 ribu dokter hanya bisa menangani 6 ribu pasien bayi dan butuh 6 ribu dokter ahli.Â
Apakah 1 dokter Indonesia hanya menangani 1 pasien jantung bawaan ? Apakah 1 dokter asing hanya menangani 1 pasien jantung bawaan ? Apakah benar 6.000 dokter asing itu semua dokter jantung ? Apakah ada kuota 6.000 dokter jantung atau bedah jantung di dunia yang mau datang ke  Indonesia ?Â
Belum lagi permasalahan kesehatan negeri ini tidak sesederhana seperti  logika yang disampaikan menteri tersebut. Apakah kedatangan dokter asing ini berkaitan dengan maraknya pembangunan bisnis pendidikan kedokteran dan bisnis Rumah Sakit yang dimodali asing serta pemodal besar negeri ini. Maka spekulasi dan pertanyaan nakal seperti itu pasti akan muncul dari otak kritis para akal sehat.
Kekurangan dokter adalah sebuah keniscayaan, tetapi apakah mendatangkan dokter asing solusi mendesak satu satunya pemecahan masalah kesehatan Indonesia.
Permasalahan umum gizi, stunting, tumbuh kembang anak, pemenuhan gizi mendukung tingkat kecerdasan manusia Indonesia yang semakin merosot jauh dan permasalahan kesehatan masyarakat lainnya belum tentu sekedar masalah kekurangan dokter atau solusinya hanya sekedar pemberian makan siang gratis.
Pengembangan dan pembangunan layanan dasar garda terdepan Puskesmas seperti terhenti sejak dasawarsa ini. Distribusi dokter yang terakumulasi di kota besar yang dulu diatasi di era orde baru dengan cara cerdas mengeluarkan biaya APBN untuk dokter PTT ke daerah terpencil sekarang dihapuskan. Â
Peran serta masyarakat melalui posyandu yang dulu banyak diapresiasi dunia kesehatan internasional sekarang tidak terdengar lagi gaungnya. Kucuran dana kesehatan yang begitu besar tidak tampak gregetnya seperti dulu lagi.
Pembangunan kesehatan tampaknya hanya terkesan untuk urusan liberalisasi ekonomi sistem kesehatan dan pendidikan kedokteran.Bukan rahasia lagi kesehatan dan kedokteran mulai dari hulu hingga akhir, mulai dari bisnis pendidikan kedokteran hingga bisnis rumah sakit, alat kesehatan dan obat sangat menggiurkan para penikmat cuan baik dari oknum pejabat, oligarki dan pemodal asing.
Memburu rupiah dalam bisnis itu lebih menggiurkan daripada niat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Liberalisasi bisnis kesehatan dan kedokteran inilah tampaknya yang ditengarai menjadi roh utama Omnibus Law UU Kesehatan yang sangat tertutup, minim partisipasi publik, Â kontroversial, tidak berkeadilan dan sangat dipaksakan.
Semua pemerhati kesehatan dan kedokteran tampaknya setuju bahwa kemelut pemberhentian mendadak jabatan dekan Fakuktas Kedokteran Universitas Airlangga adalah dampak Omnibus Law UU Kesehatan yang baru diketok disetujui para wakil rakyat.Â
Seperti yang sudah banyak diperkirakan para pengamat kebijakan publik, undang undang yang miskin partisipasi publik itu rawan menyisakan masalah yang besar dan kompleks. Pemecatan Dekan itu hanya salah satu bagian konsekuensi tergilas roda liberalisasi sistem kesehatan dan kedokteran yang sedang bergerak kencang mendekati masa akhir jabatan kepemimpinan negeri.
Permasalahan utama negeri belakangan ini tampaknya adalah runtuhnya keadilan dan lunturnya kebangsaan. Masalah besar ini diperkeruh oleh masalah ekonomi, sosial, politik nasional, politik global serta kepemimpinan negeri. Gelombang besar masalah ini menyatu dan menyapu semua bidang kehidupan masyarakat termasuk kesehatan dan kedokteran indonesia.
Dampak utama adalah liberalisasi di segala bidang termasuk kesehatan sehingga memunculkan kontroversi pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan. Ketika liberalisasi menyentuh bidang kesehatan dan kedokteran dimana tidak terjadi partisipasi publik maka ketidakadilan akan menjadi sutradara dalam semua kebijakan.Â
Ketika ketidakadilan menjadi motor liberalisasi kesehatan maka yang menjadi korban adalah pelayanan kedokteran, pendidikan kedokteran dan komunitas kedokteran akan digusur dan dikangkangi oleh kelompok kecil yang berkuatan besar di negeri ini. Â Bila ini terus terjadi maka sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran akan menjadi santapan utama para tamak kekuasaan dan tamak ekonomi.
Mimpi buruk Omnibus Law Undang Undang kesehatan sudah mulai tampak jelas di pelupuk mata. Secara sistematis, masif dan terstruktur para buzzer dan oknum pejabat awalnya telah mulai menguasai media menyebarkan isu dan fitnah dengan mendegradasi sistem kesehatan, pendidikan dokter dan  komunitas dokter di indonesia.Â
Gerakan amoral itu baru langkah awal, langkah strategis busuk berikutnya adalah menghancurkan wibawa dan mengobrik-abrik sistem organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Beberapa saat yang lalu terjadi perseteruan besar di dalam organisasi profesi dokter tersebut, sehingga tumbul perpecahan organisasi IDI yang selama puluhan tahun solid dan bersatu.
Bersama sejumlah dokter, Staf Khusus Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyanto, mendeklarasikan berdirinya Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). Terpisah dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PDSI mengusung visi dan misinya sendiri.
Gelombang besar ini tampaknya terus berstrategi dengan berusaha menguasai wakil rakyat, penegak hukum, organisasi masa raksasa, tokoh agama dan semua institusi penting. Sehingga akhirnya Omnibus Law Undang Undang Kesehatan yang minim partisipasi publik dan dinilai pakar kesehatan sebagai undang undang yang berketidakadilan inipun mulus diketuk ketua dewan tanpa hambatan.
Gelombang hitam liberalisasi kesehatan terus menggulung dan merajalela tanpa ampun. Tanpa berkebangsaan mendatangkan dokter asing, Â tanpa berkompeten mendirikan pendidikan dokter dan dokter spesialis, tanpa beretika mendirikan rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang dimodali oligarki dan asing. Siapapun yang mengkritisi dan apapun yang menghalangi tanpa ampun akan disikat dengan mengabaikan aturan dan kepatutan, termasuk prof Bus sebagian kecil korban yang terhempas.
Semua lapisan negeri mungkin sudah mereka kuasai. Tapi  tampaknya mereka lupa hati nurani tidak bisa dibeli dengan uang dan diiming imingi kekuasaan.Â
Mahasiswa kedokteran, dokter, dosen dan para guru besar telah terlanjur dinobatkan masyarakat sebagai pejuang sosial kemanusiaan. Gerakan hati nurani putih para pejuang kemanusiaan ini yang akan mampu menghadang gelombang hitam yang telah memporak porandakan keadilan negeri ini.
Tiada cara lain untuk menghadapi ketamakan para pelaku liberalisasi kesehatan itu adalah para dokter harus bersatu. Para 92 dekan fakultas kedokteran  semua harus bersatu mungkin kebijakan emosionalnya seharusnya mundur dari jabatan struktural yang selama ini diperbudak kesombongan kekuasaan.Â
Para mahasiswa, dokter, guru dan guru besar harus bersatu harus turun gunung untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Perjuangan akan lebih mudah dan lebih ringan bila para dokter bersatu dengan niat baik. Semoga Allah SWT mengungatkan dan meridhai perjuangan berat para dokter melawan segala ketamakan dan kesewenang wenangan para liberal kesehatan. Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H